Jam klassik yang ditaruh di sudut ruang tengah baru saja berdentang 10 kali. Tapi Wiwik istri Guntoro yang kelebihan lemak itu masih duduk santai di sofanya yang empuk. Sesekali matanya tertuju ke acara musik yang sedang disiarkan sebuah stasiun televisi secara live. Namun perhatian serta pandangannya lebih tervokus pada buku rekening bank yang ada di tangannya.
Malihat jumlah nominalnya yang sudah tinggi, bibir tebal wanita gendut itu tersenyum berulangkali.
“He he he … ternyata punya suami ganteng itu banyak manfaatnya. Tanpa harus kerja keras peras keringat, hanya dengan modal wajah dan rayuan, uang sudah pada datang ... oh!”
Kali ini buku rekening itu ia kipas-kipaskan ke arah dadanya. Sedang pikirannya sudah melayang menata barang apa saja yang hendak dibelinya untuk memenuhi gaya hidupnya yang tinggi.
“He he he, kalau tahu begini kenapa tidak dari dulu Mas Guntoro saya suruh beraksi. Biar aku gak pernah ngerasain yang namanya hidup susah … he he he ….”
Belum puas wanita itu memanjakan angannya tiba-tiba Guntoro datang tanpa mengetuk pintu. Lelaki itu langsung nyelonong masuk dan menghampirinya.
“Ma, sekarang kita harus cepat-cepat pergi dari sini. Jadi cepatlah Mama berkemas,” kata Guntoro sambil melempar tas besar yang baru ia ambil dari atas lemari.
“Tapi kenapa kita harus pergi, Pa?”
“Itu Ma, polisi sudah menyebarkan fotoku di mana-mana. Karena itu kita harus pergi secepatnya!”
“Tapi bagaimana dengan anak-anak, Pa?” Sang istri kembali bertanya meski kali ini sudah mulai mengemasi beberapa pakainnya.
“Anak-anak sudah aku titipkan di rumah orang tuamu, Ma.”
“Lalu kita mau pergi ke mana?”
“Sudahlah, jangan banyak tanya. Itu urusan nanti. Sekarang ayo kita berangkat.”
Tanpa menyahut sang istri segera menutup tas yang sudah dipenuhinya berbagai keperluannya itu. Setelah mengunci seluruh jendela dan pintu rumahnya, wanita gendut itu segera pula menyusul suaminya yang sudah menghidupkan mesin mobilnya di garasi. Dan begitu sang istri sudah masuk mobil, Guntoro segera melajukan mobilnya ke arah pusat kota.
Setan seolah mendukung rencana pelarian mereka. Jalanan yang biasanya ramai, malam ini terlihat agak sepi. Sehingga Guntoro bisa melajukan mobilnya dengan kencang. Dan tiap kali mengetahui jika di depannya ada polisi yang sedang patrol, Guntoro buru-buru membelokkan mobilnya ke jalur alternatip yang memang sudah ia kuasai.
“Sekarang kita mau ke mana, Pa?” Kembali Wiwik bertanya pada suaminya saat mobil mereka sudah jauh meninggalkan kota Madiun.
“Ini aku juga sedang berpikir di mana tempat yang aman untuk sembunyi, Ma.”
“Bagaimana kalau kita pulang ke rumah Papa saja?”
“Maksudmu ke Ponorogo, Ma?” balik tanya Guntoro.
Wiwik menganggukkan kepala.
“Ya.”
“Itu terlalu beresiko, Ma.”
“Maksud, Papa?”
“Jajaran kepolisian Caruban pasti sudah berkordinasi dengan polisi Ponorogo. Jadi kalau kita ke sana sama aja dengan menyerahkan diri.”
“Lalu kita mau ke mana?”
Guntoro tak menjawab. Sambil berkonsentrasi menyetir, keningnya nampak berkerut tanda sedang berpikir. Kini jalanan yang dilaluinya nampak berkabut. Kiranya daerah itu baru saja diguyur hujan deras. Hal itu membuat pikiran Guntoro tidak dapat bekerja dengan keras.