Untunglah tak seberapa lama kemudian, mesin mobil sudah bisa menyala. Tak mau membuang waktu Guntoro segera melajukannya dengan kencang. Tapi perempuan itu masih juga mengejarnya dengan melayang-layang di samping mobil Guntoro sambil terus tertawa-tawa mengerikan.
“Hi hi hi hi … kembalikan mobil dan rumahku … hi hi hi hi … kembalikan … hi hi hi … kembalikan … hi hi hi hi hi ….”
Guntoro tak mau peduli. Ia terus tancap gas. Melaju membelah kegelapan malam di antara pohon-pohon besar yang berdiri angker di kanan-kiri jalan.
“Ini kita sudah sampai mana, Ma?”
“Sepertinya ini arah menuju ke Sarangan, Pa.”
“Baguslah kalau begitu.”
“Memang kita mau ke mana, Pa.”
“Untuk sementara kita bersembunyi di sekitar telaga Sarangan. Aku punya family di sana. Dan untuk selanjutnya kita atur nanti.”
“Tapi Pa ….”
“Tapi apa?”
“Itu di depan jalannya pecah jadi dua arah, kita ke arah yang mana?”
“Masa sih ….” Sambil bertanya begitu Guntoro memperlambat mobilnya. Kurang 10 meter dari jalan bercabang itu, Guntoro berhenti sejenak. Sesaat kita tengok kanan kiri. Sepi. Kiranya setan itu sudah tidak mengejarnya lagi.
“Setan perempuan itu sudah tidak terlihat lagi, Ma,” kata Guntoro dengan senyum.
“Syukurlah Pa, terus kita ambil jalan yang mana ini?”
“Entahlah Ma, aku juga bingung ini. Kalau menurut Mama ke mana sebaiknya?”
Belum sempat Wiwik menjawab tiba-tiba satu suara sudah mendahuluinya.
“Ke kiri saja!”
Hah! Serentak mereka menoleh ke jok belakang. Astaga! Mata mereka langsung terbelalak lebar. Di jok belakang yang tadinya kosong tidak ada siapa-siapa, kini sudah duduk seorang perempuan dengan rambut panjang dan wajah yang rusak berat.
“Setaaaan …!”
Serentak mereka berteriak. Masing-masing segera berupaya keluar dari mobil secepatnya. Namun pintu mobil itu telah terkunci dengan sendirinya. Sehingga ketakutan semakin tebal menyelimuti mereka.