Jam dinding di rumah Bu Warsih berdentang 8 kali ketika Revan sampai di rumah itu. Satu hal yang membuatnya tak mengerti bahwa ternyata Kyai Dimyasfi sudah berada di depan teras. Padahal di halaman tidak ada kendaraan apa-apa. Dan kalau pun Kyai Dimyasfi tadi diantar seseorang dengan mobil atau motor, tentu ia tadi bertemu di jalan. Sebab akses menuju ke desa Selopuro hanya ada satu jalur saja. Yaitu jalan yang dilewati Revan tadi.
“Assalammualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Lho Pak Kyai, sudah lama sampai di sini?”
“Alhamdulilah sudah lebih dari setengah jam saya di sini.”
“Setengah jam?”
“Iya. Bahkan saya sudah menyuruh Dhea yang tadi ada di sini untuk mengantar ibu mertuamu ke rumahmu. Ya bukannya kenapa-kenapa tapi melihat kondisinya saya kawatir dia akan shock.”
“Iya Pak Kyai, gak apa-apa.”
“Segala sesuatunya juga sudah saya persiapkan. Sekarang kau tinggal mandi, keramas, dan jangan lupa berwudu.”
“Tapi bagaimana dengan topeng monyetnya, Pak Kyai?”
Seolah tak mendengarkan pertanyaan Revan, Kyai Dimyasfi justru balik bertanya.
“Apa kau sudah memasukkan uang tiga puluh tiga ribu tiga ratus rupiah ke kotak amal masjid terdekat?”
“Sudah, Pak Kyai. Di masjid ujung gang sana.”
“Kalau begitu sebentar lagi ia pasti datang. Sekarang cepatlah kau sucikan dirimu.”
“Baik, baik Pak Kyai.”
Revan melangkah masuk rumah. Sebelum pergi ke kamar mandi, ia masuk dulu ke kamarnya guna mengambil handuk dan pakaian ganti. Sundari tampak duduk di tengah ranjang dengan pakaian hitamnya. Dia duduk membelakangi Revan. Sehingga Revan hanya bisa melihat punggung dan rambut panjang Sundari yang terurai awut-awutan. Beberapa bunga Kenanga nampak berserakan di sekitarnya.
Hiiih!
Revan bergidik ngeri. Setelah menyadari bahwa wanita yang telah dinikahinya ini hanyalah seonggok mayat yang diperdaya Demit Jimbe, Revan bisa dengan mudah merasakan kengerian menyelimutinya. Apalagi lampu 5 watt yang ada di kamarnya hanya menyala redup. Menimbulkan siluet bayang-bayang setiap benda yang ada di kamar tampak seram.
Begitu selesai mandi, Revan ganti pakaian mengenakan celana hitam dipadu dengan baju koko warna putih. Celana dan baju itu adalah pakaian yang ia kenakan saat menikah. Dan saat Revan kembali menjumpai Kyai Dimyasfi di halaman, lagi-lagi Revan dibuat terkejut. Di teras Kyai Dimyasfi sudah tidak sendiri lagi. Ia bersama dengan dua orang laki-laki berambut gimbal dengan wajah bopeng-bopeng. Mungkin bekas penyakit cacar atau luka bakar. Revan tak tahu dan tak ingin tahu. Di bahu kedua orang itu bertengger seekor monyet berukuran sedang. Masing-masing juga membawa sebuah gendang dan sekotak peralatan pentas topeng monyet.