Pagi itu gerimis rintik-rintik mengiringi pemakaman jasad Sundari yang telah menjadi abu. Segenap kerabat baik dari keluarga Revan mupun keluarga Sundari, serta tetangga dan handai taulan, pada menitikkan air mata saat pemimpin upacara pemakaman mulai memasukkan buntalan abu ke liang lahat.
Bu Warsih tak henti-hentinya menangis. Menyesalkan kepergian anak gadisnya yang terkesan tragis. Begitu pula Pak Kadiyat, Bu Sarmin, dan juga Wulan. Mata mereka juga tampak sembab karena terus berurai air mata. Sepanjang prosesi pemakaman Wulan dan Dian saling berpelukan seolah sama-sama ingin memberikan tambahan kekuatan.
Terlebih lagi Revan. Meski tak ada air mata yang berlinang di pipinya, tapi dari wajah dan pandangan matanya yang tampak sayu, semua orang sudah dapat merasakan betapa hatinya remuk redam. Dan pakaian hitam yang dikenakannya semakin menguatkan rona kesedihan yang mendalam.
Revan berdiri lunglai menatap abu jasad Sundari yang mulai tertimbun tanah. Tanah setengah basah yang seakan ikut pula menimbun segala harapannya yang indah.
“Sudahlah Revan, tabahkan hatimu. Pasrahkan semua ini pada Tuhan. Ini sudah suratan dariNya. Lebih baik kita berdoa saja semoga Sundari mendapat tempat yang damai di sisi Yang Maha Kuasa. Kalau kau butuh teman, aku selalu siap untukmu,” ujar Yulinda yang berdiri di samping Revan sambil memgang sebuah payung yang melindungi mereka berdua dari gerimis yang belum juga reda.
Revan hanya mengangguk kelu. Kepiluan yang memenuhi ruang hatinya membuatnya enggan untuk berkata-kata. Tapi hal itu dianggap satu kesempatan oleh Yulinda. Dengan kematian Sundari, ia merasa menjadi punya kesempatan besar untuk mewujudkan impiannya mendapatkan Revan. Karena itu ia pun segera meneruskan kalimatnya.
“Sudahlah Revan, yang lalu biarlah berlalu. Simpan semuanya menjadi sebuah kenangan indah. Tak baik membiarkan hati terlalu lama larut dalam kesedihan. Bagaimana pun juga waktu terus berjalan. Dan kau masih punya banyak kesempatan untuk menata masa depan yang lebih baik,” lanjut Yulinda dengan senyum termanisnya.
“Dan akan jauh lebih baik jika engkau mau menikah dengan aku,” kata Yulinda dengan senyuman. Tapi untuk yang kali ini hanya ia ucapkan dalam perasaan.
Revan masih mematung dan membisu. Tanpa menanggapi ucapan Yulinda, Revan mengikuti keluarganya menaburkan bunga ke makam Sundari setelah kedua batu nisannya terpasang dengan rapi.
Selanjutnya pemimpin pemakaman mulai membacakan doa. Segenap yang hadir di area pemakaman itu serentk menengadahkan tangan guna mengamini doa yang dipanjatkan. Yulinda hanya menundukkan kepala sambil tetap memayungi Revan dengan setia.
Begitu pembacaan doa selesai, segenap yang hadirpun segera bersiap meninggalkan tempat itu. Kebetulan gerimis juga mulai reda. Tinggal titik-titik air yang kecil-kecil tak berarti. Namun saat seorangpun belum sempat keluar dari area pemakaman itu, tiba-tiba dua orang petugas kepolisian yang berpakaian preman langsung menarik dan memegangi lengan Yulinda. Disusul kemudian satu peleton polisi datang mengepung mereka sambil menodongkan senjata apinya. Sang komandan berseru dengan suara berwibawa.
“Saudari Yulinda, atas nama hukum Saudari kami tangkap!”
Seiring dengan itu, dua orang polisi maju dan langsung memegangi Yulinda dengan erat.
“Apa salah saya, Pak? Apa? Mengapa saya ditangkap?” protes Yulinda sambil meronta-ronta. Dalam sekejap penampilannya yang anggun telah hilang. Wajahnya berubah beringas penuh amarah.
“Revan, tolong aku Revan! Ada apa sebenarnya ini? Kenapa aku ditangkap? Tolong Revan, tolonglah.” Yulinda meratap dengan suara memelas.
Revan yang semula tercengang, perlahan melangkah menghampiri empat orang polisi berseragam lengkap yang kini memegangi Yulinda yang sudah tertangkap.
“Selamat pagi Pak Revan.” sang komandan polisi mendahului memberi salam.
“Selamat pagi. Maaf Pak polisi, ada apa ini? Mengapa Yulinda ditangkap?” tanya Revan penuh hormat.
“Berdasarkan keterangan para saksi serta pengakuan ketiga tersangka yang sudah kami tangkap, yang didukung oleh bukti-bukti akurat, ternyata Saudari Yulinda ini adalah dalang di balik musibah perkosaan yang pernah menimpa istri Pak Revan.”
Oh! Bagai mendengar petir di siang bolong, tak ada hujan tak ada angin, dada Revan berguncang dengan hebat.
“Mak … maksudnya, Pak?”