Genap di hari ke 40 setelah prosesi pemakaman yang mengharukan itu, Revan dan keluarganya berniat mendatangi rumah Kyai Dimyasfi guna mengucapkan rasa terima kasih. Karena rombongan, Revan sengaja menyewa mobil majikannya untuk pergi ke sana. Tak lupa Bu Sarmin dan Bu Warsih menyempatkan membawa beberapa barang untuk oleh-oleh.
Sepanjang perjalanan Revan menceritakan pengalamannya bertemu dengan Kyai Dimyasfi. Tak lupa Revan mengutarakan rasa kagumnya yang besar pada Kyai sederhana yang memiliki jiwa sosial tinggi itu. Sehingga semua keluarganya menjadi semakin penasaran dan ingin bertemu langsung dengan beliau.
Tapi alangkah terkejutnya mereka. Saat mereka sampai di lokasi rumah Kyai Dimyasfi yang pernah Revan datangi, sekarang di tempat itu tak ada satu bangunan pun yang berdiri. Yang tampak di hadapan mereka hanyalah hamparan makam yang bersih dan rapi.
“Loh, di mana rumah Pak Kyai, Revan? Ini kok malah makam yang kita datangi?” tanya Pak Kadiyat kebingungan.
“Tauk tuh Mas Revan, nyasar kali kita ini,” sambung adiknya juga celingukan.
“Tidak! Aku tidak mungkin salah. Memang di sinilah tempatnya,” bantah Revan sambil mengedarkan pandangan.
“Tapi buktinya mana?” protes ibunya juga.
“Ya ya aku sendiri jadi bingung ini, masa hanya dalam waktu 40 hari rumahnya sudah berganti jadi makam,” elak Revan tambah penasaran.
“Atau jangan-jangan orangnya sudah pindah,” kata Bu Warsih yang sedari tadi hanya terdiam.
“Nggak mungkin, Bu. Kalau pindah kan tentu masih ada tanda-tanda bekas bangunan rumahnya,” kilah Revan pula.
“Lalu bagaimana ini Revan?” Pak Kadiyat sudah tidak sabaran.
Belum sempat Revan menjawab, tiba-tiba datang seorang lelaki paruh baya mengenakan celana pendek warna hitam dipadu dengan kaos oblong warna putih. Di kepalanya ia mengenakan sebuah caping. Sedang di tangan kanannya tergenggam sebilah sabit yang mengkilat tajam.
Kraak!
Kaki orang itu menginjak ranting kering yang langsung mengagetkan mereka smua.
“Assalamualaikum,” sapa orang itu dengan suara berat.
“Wa’alaikumsalam.” Revan sekeluarga menjawab kompak.
“Ee … maaf, kalau boleh tanya, Saudara-Saudara ini lagi mencari makamnya siapa ya?” tanya orang itu tambah mengagetkan mereka.
Mereka saling pandang. Dan Revan yang kemudian memberikan diri untuk menjawab.
“Ee ... begini Pak, kami ke sini bukan untuk mencari makam siapa-siapa.”
“Lalu untuk apa kemari kalau tidak mau nyekar?”
“Kami bermaksud mencari rumah.”
“Rumah?”