Jasman

Dwiyan Sebastian
Chapter #7

Tujuh

Rintik hujan dari langit perlahan membasahi makam, ditambah rintik dari beberapa pasang bola mata yang menyaksikan pemakaman Leo, sahabat haikal. Sungguh bengis, Leo dijemput malaikat maut lewat peluru tembak, yang sampai saat ini tak tahu tembakan yang mana, juga tak tahu harus mengadu ke mana. Kemarin saat Haikal berhasi menyelamatkan diri, ia tak melihat Leo, barangkali Leo sudah ketakutan sehingga berlari tak tentu arah, satu peluru menembus jantungnya. Haikal pun baru tadi pagi mendapati kabar jika Leo sudah menghembuskan napas terakhir, beberapa kawan datang ke ruangan tempat ia beristirahat menyampaikan berita duka.

Tangis menjadi-jadi, meraung-raung ibunya, apalagi Leo hanya anak sematawayang, juga bapaknya sudah lama meninggal, sekarang tinggallah ibunya sendiri, ditemani sepi, diselimuti sunyi, dihantui kerinduan akan buah hati nantinya. Leo telah tiada, tak ada yang bisa dilakukan, kesedihan, penyesalan mendekap kawan-kawan yang menyaksikan pemakaman, seharusnya tak usah unjuk rasa, seharusnya usah mengajak Leo yang sedikit kurang enak badan saat demo kemarin, bayang penyesalan mulai hinggap pada pikiran setiap kawan, terlebih Haikal, penyesalan teramat dalam hinggap dalam kepalanya, seharusnya ia memperhatikan Leo ke mana perginya, dan ia ikut bersamanya. Semua ini tak akan terjadi jika ia memperhatikan Leo, air mata mulai deras menetes, bersama ingatan yang seolah menampilkan semua kenangan.

“Besok aku akan berjalan paling depan,”

“Ah kau tak enak badan, nanti ada apa-apa denganmu,”

“Tak apa kawan, demi bangsaku, bukan bank saku,”

“Terserah kaulah,”

Leo sibuk menulis dengan tinta merah di kertas, di kain putih, untuk diangkat setinggi-tingginya besok, Leo menyiapkan semuanya. Barangkali ia yang paling semangat untuk demo besok hari, hingga tengah malampun ia masih tetap menulis di beberapa kain juga kertas, tulisan-tulisan berupa tuntutan, slogan-slogan kritikan, tak peduli jika harus mengerjakan sendiri, saat semua kawan telah terlelap, menyiapkan energi, Leo selayak manusia yang tak kehabisan energy, meski ia sedang kurang enak badan, tapi semangat mengobatinya.

….. Wahai kalian yang rindu kemenangan

Wahai kalian yang turun ke jalan

Demi mempersembahkan jiwa dan raga

Untuk negeri tercinta ……

Nyanyian menggema di langit, Leo yang berdiri di depan paling kuat bernyanyi, meski sedari tadi haikal khawatir dengannya, sebab raut wajahnya terlihat begitu pucat. 

“Leo kau masuk ke barisan tengah saja, supaya jika terjadi apa-apa banyak yang membantu,”

Lihat selengkapnya