Lunglai, anak pakde Gino terduduk lesu di kedai Jasman, mengusap wajah tanda kelelehan, raut wajahnya menyedihkan, bagaimana tidak, selama empat tahun ia kuliah, setiap hari makan tempe, kangkung, ikan teri, kadang hanya kerupuk goreng. Jika kecoa tak menjijikkan, mungkin kecoa goreng akan ia makan. Tak ada yang lain, bea siswa ‘kurang mampu’ yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan seperti itu. Tak apa, yang penting perut kenyang, masalah gizi, rasanya itu sudah cukup. Empat tahun yang seolah sia-sia saja rasanya, tak seindah yang dibayangkan.
“Kenapa toh le?” tanya mas Udin membawakan kopi pesanannya.
“Dunia ini mas, dunia ini tak adil rasanya,” jawab sok berfilsafat.
“Lah-lah emangnya ada apa?” mas Udin penasaran.
“Sudah berapa kali mas melamar kerja di kantor desa, tak pernah diterima,” kali ini menyeruput kopi miliknya, dilanjutkan menghela napas.
“Alasannya apa lagi?”
“Belum ada lowongan,”
Mas Udin seketika diam, begitupun dengan anak pakde Gino. Tak ada lagi obrolan, ia melamun, barangkali memikirkan nasibnya ke depan. Menurut ceritanya, sudah dua tahun ini ia mencoba mengajukan lamaran pekerjaan ke kantor desa, tapi tetap saja tak bisa, tahun pertama alasannya karyawan sudah penuh. Tapi satu bulan kemudian masuk karyawan baru sepupu sekretaris desa. Meskipun kerjanya hanya membuat kopi, tapi tetap saja itu tak adil, katanya belum ada lowongan. Dasar pembohong, amarahnya kala itu di kedai mas Udin, juga kopi menjadi saksi bisu.
Tahun ini alasannya kembali sama, belum ada lowongan pekerjaan, tahun depan apa lagi? Kantor desa mau tutup? Karyawan akan diganti robot? Atau karyawan baru diganti saat mereka mati? Alasan yang tak ada habis-habisnya.
“Menurut aku iki lho, alasan yang tepat dirimu tidak diterima bukan karena tidak ada lowongan,” ucap mas Udin, membuyarkan lamunan.
“Terus, Mas?” .
“Tak ada orang dalam…”
“Pas,” Pemuda itu memotong.
“Sepemikiran kita, toh mas?”