“Din, ada setan din, ada setan,” seru Jasman sesampai ia di kedai mas Udin, tumben malam hari Jasman datang ke rumahnya.
“Setan apa sih, Man?” jawab mas Udin tak percaya.
“Ada setan din, ada setan,” ujar Jasman cepat.
“Alah, setan dimana?”
“Nih di depanku,” tawa Jasman sendiri.
“Dari dulu memang tak jelas kau ya,”
“Haha, nggak Din, aku serius. Memang ada setan tadi, saat aku mengangkat kopi dari kebun, Din.”
“Setannya gimana? Cantik? Kalo cantik baguslah, bisa kau jadikan isteri keduamu,”
“Ah kau ini, Din. Aku serius, tadi aku ambil kopi di kebun dekat bukit din, aku di panggil, Jasman katanya, aku lihat nggak ada orang, kemudian dipanggil lagi Jasman, aku teriak kan, siapa itu? Malah diam saja, Din. Tak lama aku dipanggil lagi, Jasman. Akhirnya takutlah aku, langsung aku lari, kutinggalkan saja dulu kopi di sana, besok saja diambil sama anakku,” Jasman menjelaskan.
“Dekat bukit itu memang ada setannya, Man,” wak Burhan nyeletuk, yang sedari tadi duduk di sana.
“Ah yang benar, Wak?” mas Udin tak percaya.
“Benar din, cerita setan di sana sudah terkenal dari dulu, dari aku kecil malah,” wak Burhan meyakinkan.
“Gimana, gimana ceritanya wak?” Jasman antusias.
Mulailah wak Burhan bercerita, di awali menenggak kopi hangatnya.
“Menurut cerita turun-temurun, sedari nenek moyang terdahulu…”
“Nenek moyang wak apa aku? Nenek moyangku kan dari jawa,” seru mas Udin memotong.
“Kau dengar saja dulu din,” jawab wak Burhan.
“Lanjutkan wak,” Kali ini Jasman bersuara.
Di ceritakanlah oleh wak Burhan tentang upacara adat yang pernah dilakukan di daerah dusun Curup. Dan dalam acara itu ada seorang pemuda bernama Muning, yang di tugaskan oleh ayahnya membawakan minuman untuk kepala adat. Tapi karena sifat muning yang ceroboh, ia tak sengaja menumpahkan minuman itu ke baju kepala adat.