Bolak-balik Jasman tak jelas di dalam rumahnya, kepalanya pusing. Sudah satu bulan ini ia pusing. Harga kopi mendadak merosot, ia merasa terlambat menjual kopi, dipikirnya akan terus naik. Di sisilain, ia tak mau lagi hidup miskin, berpikir apa yang harus ia lakukan, mencoba berjudi sudah ia coba. Main togel setiap hari, berharap keberuntungan datang menghampiri, setiap hari coret sana-sini, angka-angka tak jelas ia hitung, layaknya professor matematika, ini saja motor istrinya sudah ia jual, demi togel, menaruh harapan untuk menang besar, jadi miliarderlah ia.
Kali ini ia menjatuhkan pantantnya pada kursi kayu di belakang rumah, berpikir keras, bagaimana mempertahankan harta, atau mungkin menambahnya, kopi seperti hilang harapan, setiap hari malah menurun harganya, mencoba berjudi demi kaya sudah ia lakukan, malah perlahan lenyap, sempat terpikir minta kaya ke dukun, tapi ia tak mau nanti jadi babi ngepet, selama ini ia sering membunuh babi, masa ia harus menjadi babi nantinya, tak masuk akal. Sempat juga terpikir merampok bank, tapi ia tak punya pistol. Pusing..pusing..
***
“Hah apa? Terus bagaimana keadaanya saat ini,” mas Udin cemas mendengar apa yang disampaikan istrinya, sepuluh menit yang lalu ada yang menelepon, nomor baru, entah siapa itu, dan barusan istrinya berkata, jika itu kawan Haikal-anaknya, Haikal masuk rumah sakit tadi pagi.
“Masih belum sadar, Pak,” tangis istrinya, “Pak, ke Jakarta kita, Pak. Ke Jakarta,” istrinya merengek.
Mas udin menjambak rambutnya sendiri, menghela napas, berpikir ke mana mencari duit, tabungannya tak ada lagi, merenovasi kedai seminggu yang lalu.
“Pak, ke Jakarta kita hari ini, Pak. Ke Jakarta,”
“Iya, tenang dulu ya, aku berpikir dulu ke mana bisa pinjam uang,”
”Ke Jasman, Pak,” ucap istrinya spontan.