"Man, cepat sedikit. Penumpang lain sudah menunggu, banyak yang harus dijemput." Teriak mang Goji dari dalam mobil, sementara mas Udin masih berpelukan dengan istrinya. Tak mau lepas. Air mata menetes di ujung dagu mereka berdua, istrinya terpaksa tak bisa ikut, sebab uang mereka tak cukup, terpaksa mas Udin sendiri yang pergi, naik pesawat, tetapi harus ke provinsi dulu, sebab bandara tak ada di desanya, ia naik mobil mang Goji yang biasa mengantarkan penumpang ke bandara.
"Sudahlah, kalian berdua jangan menangis. Tak lama kau pergi itu, hanya menjemput anakmu kan." ucap mang Goji sekali lagi.
"Jangan lupa, jika sudah sampai nanti. Beri tahu, Pak, telepon." Istrinya mengingatkan dengan suara terisak saat pelukan terlepas.
"Nanti aku telepon, nomormu buat namanya paling atas, sebab aku tak bisa membaca, nanti salah telepon," mas Udin mengusap matanya.
Setelah berpamitan mas Udin masuk ke dalam mobil.
"Ingat, Pak, pulang nanti jangan lupa bawa oleh-oleh,” ucap istrinya sebelum mobil melaju. Mang Goji menepuk jidadnya, bisa-bisanya berpesan agar dibawakan oleh-oleh, sementara tujuan ke Jakarta karena anak sedang sakit.
Mas Udin duduk di kursi pinggir, sebelah kiri. Membuka jendela kaca, melambaikan tangan saat mobil melaju, dibalas istrinya.
Sepanjang jalan entah mengapa teringat perkataan wak Burhan malam tadi, ragu mas Udin dibuatnya, ada benar juga perkataan wak Burhan, tetapi tak mungkin ia mengambil keputusan sendiri.
"Jadi mau pinjam berapa, Din? tanya wak Burhan, setelah ia datang membawakan kopi unutk mas Udin yang bertamu ke rumahnya malam hari.
"Kalo bisa tiga juta, Wak,” jawab mas Udin penuh harap.
“Ada, Din, tapi buat apa?”
“Haikal masuk rumah sakit, Wak,”
“Laah, karena apa? Demo?”
“Ntahlah wak, bisa jadi iya, bisa jadi tidak,” jawab mas Udin yang lupa bertanya kepada istrinya, apa penyebab anaknya masuk rumah sakit.
“Sudahla, Din, berhenti saja kuliah, menghabiskan uang saja, liat sekarang kan, nanti ujung-ujungnya juga kembali ke desa kan, di Jakarta sudah banyak sarjana, susah cari kerja,”