“Man, ayo, Man, aku yakin kau pasti menang,” seru seorang kawan saat Jasman baru tiba, membawa ayam jantan yang ia beli tiga hari yang lalu, ayam yang seringkali menang, sengaja ia beli untuk turun pada gelanggang.
“Nah, ayo siapa berani?” ucap Jasman sok, melemparkan ayam ke dalam lingkaran manusia, bersorak-sorai.
“Kau berani bertaruh berapa?” seru salah seorang lelaki berambut panjang yang berdiri di hadapannya.
“Itu motor yang kubawa, kau ambil kalau menang, tapi kalo aku menang, motormu jadi milkku, bagaimana?” jawab Jasman tanpa ragu, ia yakin sekali memenangkan pertaruhan, sebab ayam yang ia turunkan, ayam jawara, berkali-kali menang, itu sebabnya ia rela membeli mahal-mahal dari pemilik sebelumnya.
“Beneran?” ucap lelaki itu memastikan.
“Ini,” Jasman melempar kunci motornya tanah, tanda ia seriusmempertaruhkan motor miliknya.
“Okelah,” lelaki itu melemparkan ayamnya, masuk ke dalam kandang, tanpa ba-bi-bu, ayam sama-sama mengembangkan bulu leher, saling menatap, tak lama. Prakkk, saling terbang, menyerang dengan taji yang melekat di kaki, berniat melumpuhkan lawan. Sekali, dua kali, tiga kali, ayam Jasman menyerang, bibirnya menampakkan senyum kepuasan, ia yakin ayamnya pasti akan menang.
“Man, mantap ayammu,” bisik lelaki yang berdiri di sebelahnya, sibuk memperhatikan pertarungan.
Seperti tak bisa di beri pujian, tak lama ayam Jasman di serang, berkali-kali, jual beli serangan terjadi, tapi tak lama, bisa jadi pertarungan tercepat, ayam Jasman lemah, lehernya berdarah, taji panjang menusuk lehernya, tak sempat berlari, ayamnya pun tersungkur, memberontak kesakitan, selayak sedang di potong.
“Stoppp,” teriak juri, “Cepat potong ayam itu, sebelum mati, daripada sia-sia, lebih baik dipotong, bisa di masak dagingnya.”
“Taa…tapi..tapi..” Jasman berniat protes.
“Sudah, Man. Tak bisa lagi ayammu bertanding, sudah mau mati itu,”
“Jaa..jadi, a…aku kalah?” tanya Jasman bibir bergetar.
“Iya, Man.”
Seketika Jasman mengusap wajahnya, menjambak rambut dengan kedua tangannya, termenung, kunci motor yang dilemparkan ke tanah, diambil oleh lelaki pemiliki ayam yang menang, “Surat-suratnya, nanti malam aku ambil ke rumah,” bisiknya. Jasman tak menjawab, kalut, tak tahu apa yang akan disampaikan pada istrinya nanti.
***
“Judi tetetew, menjanjikan kemiskinan,” Jasman bernyanyi malam ini, lirik yang ia ucapkan berbeda dari sebelumnya, ia berjalan sempoyongan, memegang plastic berisi tuak, dengan pipet ia sedot.
“Judi tetetew, membuat motor hilang, tetetew,” ia bernyanyi lagi, tak jelas, sempoyongan, di jalanan dekat kebun kopi miliknya, tak lama terdengar suara injakan ranting juga daun kering, membuat ia berhenti bernyanyi, melihat dengan tatapan buram, suara makin mendekat, memecah hening tengah malam, suara itu tepat di belakangnya. Segera ia menoleh, alangkah terkejutnya ia, babi cukup besar mengejarnya, hilang sudah mabuknya, segera ia berlari, meski tak jelas, menabrak pohon kopi, masuk ke kebun miliknya, berniat bersembunyi di dalam pondok.
“Tolonngggg….tolongggg,” teriaknya tanpa di dengar satu orang pun, sesekali babi hampir menyeruduk pantatanya, Jasman berlari zig-zag, entah itu teori agar selamat dari kejaran babi, atau mungkin karena ia sedang mabuk saja.
Sesaat ia sampai di depan pintu pondok, segera masuk, terduduk, brakkkk..babi menabrak pintu, terbuka sedikit, ia dorong lagi dengan punggugnya, babi kembali mendorong dari luar, Jasman tak mau kalah mendorong dengan punggungnya, dorong-dorongan terjadi di tengah malam, entah sampai kapan.
***
“Darimana saja? Dari kemarin sore tak pulang, dicari ke sana- ke mari tak ada yang tahu, tau-tau siang pulang sendiri, kepalang tidak usah pulang,” suara istri Jasman meninggi.
“Aku tidur di kebun, menjaga kopi,” jawab Jasman sekenanya.
“Alah, bilang saja mabuk,” istrinya tak percaya.
“Sudahlah, jangan marah terus,”