Dalam suasana tenang, orang-orang mulai bepergian. Sehabis sholat, berdoa. Semua orang pulang, tinggallah tiga mas Udin sendirian - kebingungan. Sedari tadi istrinya tak mengangkat telepon, agar kawan Haikal menjemputnya. Ia tahu tak ada sanak saudar di Ibukota, beda halnya jika pergi ke Jawa tengah, jadi masjidlah tempat singgahnya.
Merasa bodoh sekali ia, mengapa tak tepikir sejak dari desa, ke mana akan singgah untuk sementara waktu, yang dipikirannya kala itu tak lain ingin menemui anaknya di rumah sakit. Ponsel masih di dalam saku celananya, tak ada guna. Percuma. Tak tahu siapa yang harus dihubungi, tak ada juga orang yang mas Udin kenal di sini. Tepikir akan mati di ibu kota, tapi kali ini ia lebih tenang dari sebelumnya. Jikapun mati, ia mati dalam masjid. Mati yang tak hina pikirnya.
***
Barangkali setelah beribadah, hati manusia jadi lebih baik dari biasanya. Lelaki yang mas Udin rasa dari Papua menghampirinya yang bersandar pada tembok dekat mimbar, membawa roti isi cokelat, berniat berbagi kepada mas Udin, mendekati. Pikirnya sama-sama dari luar ibu kota.
Mas Udin melotot, kaget di sodorkan roti tanpa basa-basi.
“Untukmu,” senyum lelaki eksotis itu.
Mas Udin menujuk dirinya, meyakinkan apakah benar roti itu untuknya.
Lelaki itu mengangguk.