Saat tersadar kepalanya pusing, semua sendi terasa ngilu, dan tak tahu sedang berada dimana saat ini. Berada dalam ruanagan putih bersih, berbau obat-obatan serta selang infus menjalar di pergelangan tangan kirinya. Lampu redup di kosannya, berubah jadi lampu terang menyala.
“Dimana? Dimana ini?” tanyanya pada Santani yang duduk di sebelah ranjangnya.
“Alhamdulillah kau sudah sadar, kita di rumah sakit, kau pingsan di depan pintu kosan,”
“Leo, mana Leo?”
“Sudah, Kal, sudah. Kau harus mengikhlaskannya,”
Seketika bola matanya basah, menetes air dari sudut bola matanya, kenangan lucu bersama Leo kembali berseliweran dalam pikirannya.
***
Hari ini, tepat tujuh hari sudah mereka berdua hidup diperantauan, dan sudah tujuh hari pula mereka berpikir bagaimana bertahan hidup dengan kiriman seadanya, tetapi diri ingin makan enak.
Tanya sana, tanya sini, survey sana, survey sini. Akhirnya menemukan jalan keluar, siapa lagi kalau bukan Leo yang terus berpikir. Kemarin salah satu kakak tingkatnya, yang pastinya nasibnya sama seperti mereka, mengatakan ada salah satu organisasi yang memberikan makanan tiap kali pertemuan. Memang sih hanya kue kotak, lumayan pikirnya. Setidaknya ada asupan untuk perut.
“Semoga bisa minta dua kotak kue, untuk satu orang,” begitu ucapan Haikal saat Leo memberikan kabar baik, agar mereka ikut dalam organisasi itu. Entah apa namanya, yang Leo tahu organisasi itu, organisasi peduli sosial.
“Terserah, yang penting dapat makan,” jawab Leo senang.