“Waduh, waduh, mahasiswa nih? Baru pulang, Man?” tanya Jasman yang kali ini tak lagi membawa motor, yang ada membawa parang di pinggagnya.
“Hehe, iya mang, ambil cuti dulu, Mang, memulihkan tubuh,” jawab Haikal yang baru saja tiba kemarin dari Jakarta.
“Kapan tiba, Din? Tanya Jasman pada Udin yang baru saja datang, dari dapur,”
“Iya, Man. Dua minggu di Jakarta, begitu Haikal sembuh, langsung aku bawa dia pulang, istirahat saja dulu, eh tumben gayamu udah seperti petani lagi, ngomong-ngomong motormu mana?” mas Udin penasaran.
“Udahlah, Din. Tak mau aku jadi orang kaya lagi, nggak bahagia rupanya,” jawab Jasman sok bijak.
“Kau jual?” mas Udin masih penasaran.
“Enggak ah, Din.”
“Hilang?”
“Enggak juga, Din.”
“Lah terus?”
“Udahla, Din, tak mau aku membahasnya, eh kau jadi tambah berisi badanmu meski kuliah, merantau, sambil kerja di sana?” Jasman mengalihkan pembicaraan.
“Nggak ah, Mang, mau kerja apa di sana,”
“Terus badanmu tambah berisi ini?”
“Kalo jadi mahasiswa itu, Mang, kita harus jadi pencuri, tapi pencuri yang tak akan bisa ditangkap polisi,”
“Lah gimana caranya, ceritakanlah sedikit, barangkali anak Mamang mau kuliah nanti, bisa diberitahu ke mereka,”
Haikal tertawa, berniat menceritakan kepada Jasman, meski cerita ini kembali mengingatkannya pada Leo.
***
Minggu yang kelabu, hari yang berat. Penuh lika-liku hidup. Seusai sholat subuh Haikal tak tidur lagi, padahal hari libur. Bukan karena ingin membuat tugas kuliah, atau mengerjakan hal lainnya.
Melainkan Haikal berpikir keras, hari ini kiriman belum ada, sementara duit hanya tersisa lima ribu di dompetnya. Takdir yang tertulispun sama dengan kawannya. Sama-sama tak ada duit, sama pula duit yang dikirim baru besok hari.
Entah bagaimana orangtua mereka bisa membuat kesepakatan, padahal tak saling mengenal.
“Gimana ya? Gimana ya? Gimana ya?” ucap Haikal sendiri, ia masih berpikir keras.
“Aku tahu,” celetuk Leo kali ini, ia sedari tadi mengetahui jika Haikal berpikir bagaimana caranya untuk makan enak hari ini.
“Bagaimana?” Haikal menoleh ke arah Leo. Berharap penuh akan ide Leo, semoga kali ini bukan ide yang aneh lagi seperti sebelumnya.
Pernah Babas minta idenya bagaimana cara agar bisa menyontek ujian tanpa diketahui. Sebab menyontek jika ditulis di kertas seringkali ketahuan, apalagi telapak tangan. Bukan anak SD lagi, dosennya saat itu juga sangat disiplin, sangat ketat. Semuanya diperiksa, mulai dari saku celana, baju, telapak tangan, ponselpun dikumpulkan. Tak jarang harus buka sepatu jika ingin ikut ujian.
“Itu sih mudah,” jawab Leo kala itu.
“Bagaimana?”