Sehabis menjalankan ibadah maghrib di mesjid bersama mertuanya, Raka yang baru sampai di depan pagar disambut Suwarti.
"Ini ada telepon dari temanmu, Ali namanya." Suwarti berikan ponsel Raka pada pemiliknya.
Ketika berangkat sholat tadi, Raka menaruh ponselnya di meja kecil sebelah sofa panjang ruang tamu. Ponsel itu sengaja ditinggal karena harus di isi daya baterainya.
Raka mengambil ponselnya dari tangan Suwarti. Dia menyapa Ali sambil terus berjalan menuju kursi teras.
Sementara Suwarti terus masuk ke dalam rumah, meneruskan pekerjaannya mempersiapkan makan malam.
"Ya, ok. Kamu mau ke sini atau ketemu di luar?" tanya Raka di telepon pada Ali.
"Siap, bos. Kita ketemu di Cafe Cah Ayu, ngopi gitu. Sip, jam setengah delapan aku sampai sana!" Raka terus menutup telepon setelah mengucap salam.
Raka bangun dari duduknya dan dia melihat Sugeng membuka pagar. Dia pulang lebih dulu dari Sugeng yang asyik ngobrol dengan jamaah lain di teras mesjid.
"Loh, kamu masih di luar?" tanya Sugeng sambil mendorong pagar.
"Habis terima telepon, Pak." Raka tersenyum gembira.
"Sepertinya ada kabar baik, ya? Wajahmu tak bisa bohong, terlihat senang." Sugeng menunjuk wajah Raka.
"Iya, Pak. Tadi Ali nelepon, dia temanku yang kerja di notaris, sebagai staf. Dia mau ketemu, katanya sih ada kabar baik tentang rumah yang akan aku beli."
Sugeng mengangguk, dari suara menantu keduanya itu, dia tahu pasti betapa gembiranya Raka.
"Tapi kamu sudah ketemu Sudar?" tanya Sugeng.
Rencana Sudar bertemu Raka saat ashar tadi diketahui Sugeng.
"Iya, sudah." Raka mengangguk.
"Kamu kenapa tak memikirkan usul Sudar? Bapak rasa yang dia katakan itu ada benarnya," ucap Sugeng sambil memperhatikan raut wajah Raka.
Ada perubahan di air muka Raka.
"Bapak tak bilang rumah itu angker. Ya, mau bilang apalagi, rumah kosong itu belum tentu kosong, karena di dunia ini bukan cuma kita yang tinggal. Bahkan di rumah ini pun, bisa jadi ada mereka," ucap Sugeng tenang.
"Bapak hanya mau bilang, kenapa kamu tak cari rumah di tempat yang banyak orangnya. Bapak sudah lihat fotonya lama, merasa daerah itu sepi. Ingin bicara sama kamu, tapi takut kamu patah hati dan kesal sama Bapak," tambah Sugeng.
Raka menggaruk kepalanya yang tak gatal. Karena rambutnya di potong pendek, jadi dia tak memakai peci saat sholat. Beda dengan Sugeng yang memakai peci hitam.
"Gimana ya, Pak?" Raka bingung sendiri.
"Gimana apanya?" tanya balik Sugeng.
"Kalau menurut nafsuku, aku memang ingin punya rumah kecil atau sederhana saja dulu, di tempat yang ramai dan ada banyak tempat bisa dikunjungi. Tapi .... "