Hampir setengah jam kami berdua berada di lantai paling atas gedung kantor tempat kami sama-sama bekerja. Bersama malam yang muram, kulihat dia menarik lengan untuk merengkuh dirinya sendiri. Aku mengerti, meski kini dia berbalut jaket tebal, tapi demam yang dia derita tak bisa menyembunyikan lemah tubuhnya.
“Kamu ini aneh, lagi demam malah ngajak ke sini,” komentarku.
“Coba lihat langit yang hitam pekat itu. Malam selalu membuat dunia seolah tanpa batas, bintang, bulan, dan lampu-lampu di penjuru kota berkolaborasi. Aku selalu merasa nyaman,” dia berkata. Satu hal yang membuatku terheran-heran. Dalam keadaan seperti itu, dia tetap takjub menatap bulan, bintang-bintang, dan citylight, bahkan tanpa memedulikan ucapanku.
“Dan, kita manusia yang memberi nama pada mereka, mengenali dan berusaha memahami,” sambungnya, dia berkata penuh keyakinan.
“Rafflesia Arnoldi nggak pernah tumbuh di LA, tapi seorang berkebangsaan Inggris jadi orangtua untuk bunga itu. Itu hadiah kalau mau lebih dalam mengenali,” ucapku berusaha mengimbangi.
Dia selalu merasa damai dalam alam pikirannya sendiri. Kecintaannya adalah memberi perhatian lebih pada hal-hal remeh—detail-detail kecil yang seringnya aku tak mengerti. Sedikit mengenai dirinya: namanya Angsana, bukan pohon dengan bunga berwarna kuning beraroma jeruk yang kulitnya bisa jadi obat dan kayunya bisa jadi perkakas rumah itu. Dia hanya seorang wanita yang kutemui sejak di bangku kuliah. Kini menjadi teman kantorku. Bekerja dalam satu biro konsultan yang bergerak di bidang arsitektur dan desain interior. Sudah selama itu pula kami saling mengenal. Tahunan waktu sudah kami lewati, tidak ada yang terlalu lama atau terburu-buru, dan sudah seharusnya seperti itu. Seimbang.
Hubungan di antara kami terjalin bukan karena banyaknya kesamaan, tapi banyaknya perbedaan. Dalam beropini dan berargumen, tak jarang kami sampai bertengkar. Hal-hal itulah yang menjadi lem perekat dalam hubungan persahabatan yang kami jalani. Itu sebuah keajaiban.
“Ayo, turun! Lihat, kamu kedinginan,” ajakku, sembari bangkit dari posisi duduk.
Angsana menggelengkan kepalanya. Sama sekali tidak memandang ke arahku. Sepasang mata itu sibuk memperhatikan satu titik di hadapannya, tak pasti sejauh apa sorot matanya dia benamkan. Yang jelas kini aku bertanya-tanya apa yang tengah ia lamunkan.
Dalam ruang perhatian lebihnya terhadap hal-hal remeh, sering padaku dia menjelaskan: Lebih dari bahasa manusia, pohon-pohon itu, binatang-binatang itu, dan alam semesta ini. Mereka memahami diri mereka sendiri. Induk harimau tak perlu nama untuk tahu siapa anak-anaknya. Dan, bagaimana buaya malah lebih erat kaitannya dengan burung ketimbang kadal? Hewan-hewan itu tahu apa yang harus mereka makan tanpa tahu label pada apa yang mereka cerna. Mereka saling memahami tanpa bahasa.
Berkali-kali Angsana sering berkelakar mengenai hal semacam itu. Dalam lamunannya—dunia yang barang tentu tak menyertakan aku. Kadang sulit bagiku memahami apa yang ingin dia sampaikan. Aku bukan pujangga, bermetafora adalah kelemahanku. Pikiranku dirancang untuk memandang segalanya seperti memandang 1 + 1 = 2. Atau, hitungan pada 1 juta detik = 11 hari, 13 jam, 46 menit, dan 40 detik. Sukar merambah yang lebih daripada itu.
Angsana begitu kukagumi, caranya menjelaskan dalil cinta beserta eksistensinya terkonsep rapi. Bukan nekromansi. Boleh jadi murni intuisi. Anugerah alami. Dan, aku nyaman kepadanya dalam ranah apa pun, dia pun paham tentangku yang tak ingin repot menganalisis. Semua tentangnya jadi begitu sentimental, barangkali karena sudah ada kata terbiasa, sampai membuat aku kadang takut pada ketiadaan, kepergian, terlebih kehilangan.
Tttrrrttt ....
Ponsel Angsana bergetar, satu pesan singkat masuk. Semua yang kulakukan untuk mengajaknya segera angkat kaki dari tempat ini dikalahkan oleh satu pesan singkat. Pesan itu sontak mengubah ekspresi wajahnya, dia bergegas bangkit.
“Dari siapa?” Aku penasaran.
Tapi dia tidak menjawab, malah berkata, “Ayo ... cepat pergi dari sini, nanti malah kamu yang jadi sakit!” cetusnya. Kenapa jadi dia yang menasihatiku?
Namaku Pranaja. Rasional adalah caraku mencintai wanita di hadapanku, meski tak pernah aku memberi tahu.
***
Tubuh kami berdua sama-sama bungkam, tak berinteraksi dan hanya diam. Di sepetak ruang berukuran 4 x 6 meter, udara seolah tersekat, terinfeksi dan enggan bersuara. Angsana sibuk dengan dunianya dan aku sama sibuknya: memperhatikan dunianya. Di ruang 4 x 6 meter ini kami bersama, tapi diamnya dan diamku membuat kami berbeda zona.
Angsana berhenti memandangi laptopnya, juga berhenti membolak-balik kertas-kertas pekerjaannya. Terasa tubuhnya segera membutuhkan tempat peraduan. Dia menghela napas berat, juga panjang, dan memejamkan mata.
Dia masih diam. Sialnya sudah satu jam kami bersama, tapi tanpa bertegur sapa. Tak apa, jujur selama kami masih bersama, aku tak merasa keberatan dengan keadaan macam ini. Kadang kepasrahanku bukan karena keharusan, tapi penerimaan yang ikhlas. Asalkan kami dalam satu dimensi ruang dan waktu, aku mensyukuri semua itu. Tanpa banyak bersungut-sungut.
Angsana menelusuri dimensi dalam kepalanya dengan penyuara di telinga dan iPhone di lengan sebelah kanan. Mungkin mendengarkan melodi nada lebih dibutuhkannya sekarang, ketimbang nada sumbang yang ditimbulkan olehku. Tidak apa-apa. Aku mengerti. Duka dan kesedihan selalu membutuhkan nada kegembiraan, meskipun ada dunia di sekelilingnya. Meskipun ada aku di sampingnya. Tidak mengapa. Aku memaklumi. Wajah lelah Angsana sudah cukup memberi arti untuk kukantongi dan kubawa pulang nanti.
Diamnya masih mengalahkan diamku. Tatapanku masih setia dan tak akan luntur meski disungut waktu. Dia cita-citaku. Sudah. Cukup begini saja.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah membuat asap di dapur mengepul. Aku sengaja memasak bolu untuk kubawa nanti malam. Hari ini ulang tahun Angsana. Sudah sejak dua bulan yang lalu aku belajar resep bolu pandan ini dari buku resep masakan yang kubeli. Aku bukan orang yang sering ke dapur, pengalamanku dengan kompor dan wajan hanya sampai pada telur mata sapi dan rebusan air untuk kopi. Namun demi Angsana, segalanya kuupayakan agar bolu itu matang dengan sempurna.
“Ngaduk adonannya harus lebih kuat lagi,” sergah Indri, adikku yang sengaja kubawa ke apartemen. Aku butuh guru, dan bolu ini tak boleh gagal.
“Iya, ini juga udah kuat ...,” kataku sambil fokus pada adonan buatanku.
“Untuk siapa sih, sampai sebegini niat?” tanyanya menyelidik, aku mulai malas kalau diselidiki.
“Untuk teman,” tandasku pendek.
“Teman yang seperti apa?” Indri makin menyelidik, makin ingin tahu, dan mungkin berniat membawa pulang bahan untuk diperbincangkan dengan orang di rumah.
“Teman yang nggak cerewet dan nggak banyak nanya.” Selesai, habis cerita!
Pagi ini dengan usaha dan bantuan Indri, bolu yang kubuat siap bertemu calon pemiliknya.
***
Malam ini perayaan ulang tahun Angsana yang ke-23. Setelah bercerita ke sana kemari, bersenda gurau, tertawa terbahak-bahak bersama teman-teman lainnya, Angsana malah terlihat berada di tempat yang tidak seharusnya, jauh dari kerumunan orang-orang, kembali sendirian dengan mata yang jauh menerawang. Haruskah dia berada dalam lamunan pada harinya yang istimewa?
Aku mendatanginya, membawa dus berisi bolu buatanku dan bingkisan kado sederhana. “Ini kado sederhana dan bolu pandan buatan hamba, Tuan Putri.”
Sorot mata Angsana menyiratkan keanehan dan keraguan. “Tumben ngasih-ngasih kado beginian. Pakai masak bolu segala.” Dia tertawa kecil.
“Dulu ingat? Kamu pernah traktir aku bolu sampai aku kekenyangan. Nggak salah kan, kalau aku ngasih ini untuk mengingat peristiwa di kafe waktu itu. Nggak suka, ya?”
Tanpa menjawab, Angsana mengambil dus berisi bolu pandan dan kado dari kedua tanganku.