“Coba tebak, siapa orang yang aku temuin di kantor tadi?”
“Siapa?”
“Fito.”
Fito. Nama itu mungkin tak akan pernah menjadi spesial jika temanku, Kiran, tidak memperlihatkan foto pria yang sedang menarik perhatiannya saat itu. Pada foto yang diperlihatkannya, ada dua pria sedang berdiri memamerkan senyum. Salah seorangnya bernama Kelana, yang begitu dipuja-puja oleh Kiran. Di sebelah Lana, ada pria bersweter merah dan berkalungkan kamera DSLR. Tanpa sengaja, aku memuji pria itu dengan ungkapan “cakep”. Entah bagaimana aku tiba-tiba memujinya demikian, memuji orang yang kemudian kutahu bernama Fito.
Fito, sama sekali aku tidak pernah mengenalnya, bahkan melihatnya secara langsung dengan kedua mataku pun belum pernah. Tapi ia, perlahan, tapi pasti, dan tanpa aku sadari, telah membawaku pada suatu petualangan yang tak bisa kukendalikan. Aku jatuh cinta pada dia yang tak pernah kulihat langsung. Tak pernah kusangka, pujian itu membuatku berjalan jauh mencari tahu, siapa itu, Fito Septian.
“Fito ternyata magang di Sun TV juga, lho,” jelas Kiran.
Sejak Kiran tahu aku tertarik pada Fito, dia selalu memberi tahu apa pun tentang Fito yang tidak kuketahui. Tentang bagaimana Fito hari ini di kampus, tentang bagaimana dia jalan dengan teman-temannya. Apa pun yang Kiran ketahui tentang Fito, selalu diceritakannya kepadaku. Kiran, mata ketigaku, mata yang tak pernah kupaksa untuk bercerita dan mencari tahu tentang Fito, tapi dengan sendirinya melakukan tugas-tugas rahasia itu.
“Yang bener? Program apa dia?” tanyaku dengan begitu antusias di telepon. Tidak ada hal tentang Fito yang membuatku tidak antusias, walaupun itu hanya hal sederhana. Kiran sangat mengetahui tentang itu.
Di sana, Kiran tertawa sebelum menjawab pertanyaanku tadi. “Kamu pasti kaget dia dapet program apa.” Kiran masih tertawa puas. “Music Box!”
Aku menelan ludah ketika mendengar Kiran mengucap Music Box. Sejak acara itu muncul, aku tidak pernah menyukainya sama sekali. Buatku, Music Box hanyalah acara tidak penting yang tayang pada jam prime time. “Serius?”
Kiran tertawa sangat puas ketika hanya pertayaan itu yang meluncur dari mulutku. “Fito bilang sendiri, tadinya dia dapat program kuliner, tapi karena masa tayangnya habis, jadi dia dipindahin ke Music Box. Berdoa aja, dia inframe,” jelasnya dengan nada suara yang sedikit meledek. “Eh, Mbak Ibel manggil aku, udah dulu, ya. Bye!” lanjutnya lalu mematikan teleponnya.
Iya, inframe, entah apa jadinya Fito yang pendiam itu harus rela menggerakkan tubuh kakunya. Untuk menyunggingkan senyum di setiap fotonya saja ia terlihat kaku. Apalagi harus menggerakkan seluruh tubuhnya. Membayangkannya saja aku sudah tertawa.
***
Beberapa hari ini aku terpaksa menonton acara yang tak pernah kusukai itu. Alasannya, tidak lain hanya karena Fito. Sehari, dua hari tidak ada sosok Fito yang kulihat, sampai pada akhirnya seorang pria sedang berdiri di antara dua kameramen, ia memakai pakaian hitam-hitam sama seperti crew lainnya, kedua tangannya memegangi papan yang mungkin ukurannya sekitar satu meter. Di papan itu tertempel lirik lagu, ia hanya terlihat tampak samping, tapi aku yakin itu Fito. Keyakinan itu entah dari mana datangnya. Tapi aku tahu itu Fito, di lengannya melingkar gelang yang selalu dia pakai, gelang berwarna hitam yang mirip seperti tasbih yang ia lingkarkan di pergelangan tangannya. Juga sepatu yang selalu ia pakai, converse, dan yang paling membuatku yakin adalah, cambangnya.
Detik yang begitu cepat itu teramat membuatku bahagia. Ini kali pertamaku melihatnya tak hanya dalam bentuk foto. Meski tampak samping, bahagia tetap saja bahagia. Aku mencoba memberi tahu Kiran tentang apa yang baru saja kulihat dengan mataku. Tapi, sedari tadi pesanku belum dia baca. Mungkin dia sedang sibuk, magang di stasiun televisi memang tidak seenak yang dibayangkan. Ada hal yang harus terbayarkan untuk sebuah hasil yang masih terlihat abu-abu. Dunia pertelevisian memang terlihat menyenangkan, bertaruh pada kreativitas dan selera penonton, targetnya tentu saja rating yang tinggi. Dan semua itu butuh pengorbanan, salah satunya waktu. Tak hanya Kiran, Fito pun begitu, dalam beberapa posting-an terbarunya di Instagram, terlihat ada kantung mata yang kini tergambar di wajahnya. Bagaimana tidak, Fito tergabung dalam acara yang tayang live setiap harinya. Kiran pernah cerita, setiap harinya Fito datang pukul sebelas pagi dan pulang pukul dua dini hari, bahkan bisa lebih.
From: Kiran
Aku masih belum dibolehin pulang, nih. Tadi Mbak Ibel izinin aku pulang. Tapi, Mbak Ina malah nyuruh aku buat rundown. Lembur!
***
Kiran adalah sosok yang pelupa, dan tugasku harus mengingatkannya. Ketika ada hal yang ingin ia ceritakan, tapi situasinya tidak memungkinkan, Kiran selalu memintaku untuk mengingatkannya. Seperti tadi, ia mengirimiku pesan, katanya ada yang ingin ia ceritakan tentang Fito padaku saat jam makan siang.
“So, ada apa dengan Fito hari ini?” tanyaku saat jam makan siangnya.
Terdengar di telepon Kiran sedang mengunyah makanan di mulutnya. “Jadi gini, tadi aku satu lift sama dia.” Ceritanya terhenti, ia menelan makanan di mulutnya.
“Habisin dulu deh makannya.”
Tak lama setelah ia menghabiskan makan siangnya, ia kembali meneleponku. “Tadi aku satu lift sama dia. Muka dia kelihatan capek banget, katanya kurang tidur. Sudah beberapa hari ini dia pulang subuh. Kamu kalau lihat dia pasti nggak tega,” jelasnya.
“Kasihan! Tapi dia masih ganteng, kan?” tanyaku lalu tertawa.
“Nggak sih, biasa aja. Hei, aku kenalin kamu ke dia ya. Dia jomlo, kok. Kamu juga, siapa tahu cocok, siapa tahu bisa jadian. Masa kamu mau mendam perasaan terus. Sampai kapan? Sampai dia punya cewek terus kamu nyesel. Dia orang baik, kok. Kamu nggak salah menilai dia selama ini. Aku kenalin, ya.”
Ajakan Kiran untuk mengenalkanku dengan Fito dari dulu selalu kujawab sama, “Aku belum siap.”
Hanya itu jawaban yang bisa aku katakan. Hmmm ... sebenarnya bukan itu alasannya. Aku adalah orang yang percaya dengan kekuatan harapan dan mimpi. Tapi, entah apa yang membuatku tak berani melakukan kedua hal itu untuk seorang pria bernama Fito. Aku takut menyimpan harap yang berlebihan untuknya, apalagi bermimpi untuk memilikinya. Rasanya, cukuplah semuanya berjalan seperti ini.
Biarlah aku mencintainya dengan caraku sendiri, yang membiarkan dia hidup dalam ruang-ruang yang tidak pernah orang lain ketahui. Hanya Tuhan, aku dan Kiran yang boleh tahu tentang ini. Aku tak mengharuskan dia tahu, bahkan mengharuskan ia untuk membalasnya. Untuk saat ini, cukuplah perasaan ini, bahagia dengan caraku yang teramat sederhana. Dengan hanya melihatnya sepersekian detik di acara itu, mengetahuinya dari cerita-cerita Kiran, dan jejaring sosial miliknya. Selebihnya, biarkan Tuhan yang menentukan ending yang bagaimana untuk ceritaku tentang Fito.
Fito, ia mengenalkanku pada satu perasaan yang sebenarnya menyakitkan, tapi begitu kunikmati. Perasaan jatuh cinta diam-diam.
***
Melihatnya menggerakkan tubuh bukan hal yang menggelikan lagi. Fito tidak terlihat sekaku saat kali pertama dia inframe. Mungkin dia sudah terbiasa, begitu pun dengan ekspresinya. Kini aku tahu, bagaimana ia menyunggingkan senyumnya. Beberapa foto yang ia posting pun kini memperlihatkan lengkungan senyumnya, amat memesona.
Entah apa yang membuatku ingin sekali membuka linimasa milik Fito. Benar saja, ada tweet terbaru yang baru ia posting beberapa jam yang lalu. Last Day begitu ia menuliskannya. Tanpa perlu aku bertanya pada Kiran, aku tahu, hari ini adalah hari terakhirnya magang di Sun TV. Aku menghela napas, tiga bulan begitu cepat berlalu. Hari terakhir ia magang, itu artinya ini adalah kali terakhir aku bisa melihatnya di acara itu.
To: Kiran
Hari ini, hari terakhir Fito magang.
Mataku memanas ketika melihat Fito berdiri memegang beberapa gulung kertas karton di acara itu. Aku tak bisa menahan bulir air mata yang tergenang di setiap sudut mataku. Setelah ini, aku tak tahu dengan cara apalagi aku bisa melihat setiap gerak-geriknya.
“Aku tadi ketemu Fito. Iya, dia bilang ini hari terakhirnya magang,” jelas Kiran melalui telepon.
Aku menghela napas. “Sedih.”
Kiran justru tertawa mendengar jawabanku. “Mumpung Fito belum pulang ke Bandung. Mau aku kenalin, nggak?”
Sulit sekali mulut ini berkata mau. “Kalau jodoh, aku bisa apa?” Kali ini aku yang tertawa sebelum akhirnya Kiran mengakhiri obrolan.
Kalau jodoh, aku bisa apa? Kata-kata itu tak tahu dari mana asalnya, meluncur begitu saja. Aku percaya ketika Tuhan menakdirkan mata ini bisa melihatnya tanpa sekat, maka tak ada satu pun yang mampu menghalangi. Atau, mungkin jika Tuhan menakdirkan ia untukku, tak ada yang tak mungkin untuk-Nya, sang sutradara Mahadahsyat. Mungkin, aku tak ingin memaksa-Nya untuk menjadikan pria itu sebagai imamku. Biarlah semuanya menjadi rahasia-Nya, akan menjadikan aku dan dia seperti apa.
Akan ada saatnya aku bisa menatapmu, tanpa sekat. Tulisku dalam linimasaku.
***