Jatuh Cinta Diam-Diam 2

Bentang Pustaka
Chapter #3

Kopi

Bulan purnama terlihat lebih anggun malam ini. Mungkin hanya perasaanku, atau sinarnya memang berbeda? Di sana, pada bagian outdoor kafe ini, sinar bulan itu membias menyirami kalian. Kalian yang sedang asyik bercengkerama. Kalian yang sedang bahagia dalam percakapan interpersonal berdua. Kalian yang selalu datang ke kafe ini, setia dalam damba dan saling mencinta.

Sementara aku?

Tidak perlu terburu-buru mengetahui siapa aku. Malam masih muda, obrolan kalian masih panjang. Dan aku masih ingin terus jadi pengamat di balik meja bar, sebelum kuberi tahu siapa diriku.

Satu cappuccino dan satu coffee and cream yang kalian berdua pesan telah kubuatkan. Siap untuk diantar ke meja kalian. Khusus untukmu, wanita dengan rambut keriting sebahu. Setiap kali kamu datang ke kafe ini, kamu selalu memesan cream lebih banyak dalam kopimu. Ketika kamu menungguiku membuatkan kopi, pernah aku bertanya mengenai selera tinggimu terhadap creamer. Kamu malah tersenyum, senyum yang tak mampu kuberi arti. Lantas aku terus bertanya, meski jawaban darimu tetap sama: tersenyum sambil pergi membawa kopi penuh creamer itu ke mejamu.

Karena seringnya kamu berkunjung ke kafe ini, kamu sampai hafal namaku. Ree, tiga huruf dalam emblem nama yang bertengger di atas kantong kemeja kerjaku. Tiga huruf tanpa arti, tapi jadi berkesan saat bibirmu yang menyebutkannya. Dipanggil seperti itu, aku akan datang mendengarkan keluhan: akibat creamer yang kurang banyak dalam kopimu. Sebenarnya, aku memang sengaja menguranginya, agar kamu tak sekarat karena kelebihan gula, atau pulang ke rumah dengan vonis diabetes dari dokter. Namun, kamu pelanggan dan aku barista-nya. Setiap permintaan pelanggan adalah tuntutan kerja bagi barista, khususnya di kafe ini. Dengan berat hati kutambah kadar creamer dalam kopimu, sambil berdoa semoga setiap gula yang kamu telan tidak akan berdampak apa-apa kecuali akan menambah kadar manis pada senyumanmu.

Di lain kesempatan, tatkala kafe ini sunyi, pernah kulihat bekas aliran air mata pada pipimu. Dan lagi, kopi berkadar creamer ekstra tinggi, kamu minta dalam kopimu. Aku mengabulkan permintaan itu. Iseng kuselipkan pertanyaan menyelidik, seputar sembap matamu, dan ingus yang sedari tadi kamu sedot.

“Saya mentah-mentah dibohongi.” Kamu mulai bercerita.

“Dibohongi siapa?” tanyaku mengudara.

“Seseorang yang saya anggap istimewa.”

Langsung dapat kutebak ke mana arah pembicaraan ini. Kuhentikan tanyaku sampai di situ, dan kamu beranjak pergi menuju mejamu. Menikmati bergelas-gelas kopi, dan sampai mabuk karena creamer-nya. Lekas kuhampiri kamu, memberikan segelas air putih. Air putih itu kamu telan dalam sekali tegukan. Sepertinya harimu memang sedang susah.

Begitu kulangkahkan kaki menjauhimu, seketika namaku kamu panggil, “Ree.” Terdengar manis agak asin sedikit.

“Bisa temani saya ...” pintamu tiba-tiba.

Dalam gerak khidmat, kududukkan diri di depanmu.

“Kamu tahu ... creamer dalam kopi yang kamu minum sebenarnya adalah perusak,” gumamku dengan segala kegugupan yang kutahan.

“Apa yang dirusaknya?” Wajahmu sarat akan kelusuhan.

“Setiap kopi punya karakternya sendiri, dan karakter itu berasal dari rasa pahitnya. Menambahkan creamer terlalu banyak hanya akan merusak karakter kopi itu. Kamu hanya meminum kopi semu,” ucapku penuh penekanan.

Sejenak hening ... diammu menginfeksi suasana. Kemudian, kamu tertawa.

“Kenapa tertawa?”

“Seseorang di sana telah membohongi saya mentah-mentah, lama saya menganggap perasaan itu nyata, ternyata sekarang dia malah menikah dengan ibu saya. Dan kini di hadapan saya, seseorang berkelakar mengenai karakter pahitnya kopi.” Kamu tertawa lagi, hatiku sempat menciut.

“Mungkin saat ini, kamu memang butuh waktu sendiri.” Aku bangkit dari kursi, tapi kamu melarangku pergi.

“Jangan, maaf kalau ucapan saya menyinggung. Saya cuma berpikir jika hidup ini lucu. Lucu sekali, segala pilihan diberikan dalam wujud tidak pasti, dan begitu kamu mengambilnya .... Buuum! ketidakpastian itu menenggelamkanmu. Dan, kamu mati kehabisan napas.”

Kuurungkan niatku. Selain bersimpati, aku juga merasa iba. Dan, lama-kelamaan menyukai peristiwa ini. Kita jadi bisa ngobrol berdua, dalam jarak lumayan dekat pula.

“Justru dalam ketidakpastian, kita dapat bimbingan,” ujarku, berupaya mengimbangi pernyataanmu tadi.

“Dibimbing?”

“Iya ... dalam hitungan waktu, ketidakpastian sebenarnya memandu kita ke sebuah jalan, dan kamu tidak perlu tahu apa jalan itu, tugasmu hanya harus berjalan melaluinya untuk mendapatkan jalan keluar.” Suaraku kutegar-tegarkan.

Lama kamu hanya termenung. Bisa dibilang sedang berpikir, bisa juga dibilang sedang melamun. Entah, yang jelas ada kabut menyelubungimu, dalam ranah yang tidak kutahu.

Kusudahi perhatian padamu. Seorang pelanggan yang baru datang melambaikan tangan ke arahku, meminta daftar menu untuk memesan. Kali ini kamu tidak mencegahku pergi, mengikhlaskan diriku untuk kembali bekerja.

Sampai jarum jam kafe mengarah pada pukul 02.00. Kamu berjalan pergi meninggalkan kafe setelah sebelumnya menyinggahi barista di meja kasir untuk membayar pesananmu. Meja dengan lima cangkir yang kamu tinggalkan langsung kubersihkan. Di sana kudapati secarik kertas berisikan tulisan.

 

Mungkin kamu benar Ree, creamer itu sengaja saya minta agar kopi itu tertutupi rasa pahitnya. Dan rasa manis yang saya telan adalah semu, sebab pahit adalah rasa yang sesungguhnya. Rasa yang akan membimbing saya melalui jalan ketidakpastian. Terima kasih.

Hera.

 

Lihat selengkapnya