Jatuh Cinta ke Angkasa

Mizan Publishing
Chapter #2

Sirius

Di sebuah ruang kelas yang sepi, 13 Oktober 2012 ....

“Aku tahu nama yang pas untuk kita!” kata Kala. Nama sebenarnya Anak Agung Ngurah Yuda. Dia berkacamata dan perawakannya tinggi tegap. Dia dingin. Tetapi, sikapnya hangat jika didekati. Dia lahir di Bali. Waktu sekolah dasar, dia tinggal di Batam. Sekarang, kami bertemu dengannya di Bandung.

Kami menatapnya lugu.

“Nama kita Sirius.”

Kami mengerutkan dahi. “Apaan tuh?”

“Sirius itu artinya bintang yang bersinar paling terang pada malam hari. Filosofinya, ya, kalian mengerti sendiri, lah. Kita itu bintang-bintang yang bersinar paling terang. Saking terangnya, orang-orang sampai silau saat melihat kita.”

Hening.

Kami sih, setuju-setuju saja soal nama itu, karena sebenarnya kami sendiri pun tidak punya ide lain yang lebih menarik daripada itu.

Keputusan itu lalu diusulkan dan disahkan oleh Kala sendiri.

Selanjutnya, kami adalah tiga belas anak sekolahan berseragam putih-biru yang hari itu dinobatkan oleh dunia sebagai sekumpulan bintang yang paling bersinar terang pada malam hari.

***

Bandung, 12 Desember 2014

Sirius, my beloved.

Kalian sudah besar, ya ....

Aku tidak menyangka kalian tumbuh dewasa dengan sangat cepat. Kalian tahu enggak? Perasaanku pada kalian enggak akan pernah berubah. Aku seneng banget bisa ketawa lagi bareng kalian. Walaupun kini kita memakai seragam putih abu yang berbeda, kalian bahkan masih menjadi prioritasku! Hehehe. Terima kasih sudah menjadi alasanku untuk tertawa lepas hari ini. Sudah

empat setengah tahun tawa itu selalu menjadi tawa yang sama.

Pelukan kalian, terima kasih banyak, ya. Pujian yang kalian berikan juga begitu berarti untukku dan hidupku. Kalian adalah orang-orang penting dalam hidupku. Kalian adalah alasan terindah untuk tetap semangat menjalani keseharianku di bangku SMA yang memuakkan. Aku sayang kalian.

Aku juga senang kalau kalian mendapatkan teman baru yang lebih seru di SMA, percayalah.

Hei, Sirius. tetaplah menjadi diri sendiri. Jangan pernah berubah menjadi orang yang asing. Tetaplah menjadi pribadi yang sederhana dan apa adanya, tanpa ada muka dua dan tusukan pisau di setiap pelukan-pelukan kalian.

Semoga kesalahan masa lalu yang pernah terjadi dalam hidup kita tidak terulang kembali pada kehidupan yang selanjutnya, karena kesalahankesalahan itu sudah pernah dirasakan sakitnya.

Terima kasih.

***

Bandung, 24 Juni 2015

Kepada sahabatku

Nirmala,

di tempat.

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Haduh, jujur saja aku sudah lupa cara menulis surat yang benar. Tolong maklumi ya, penempatan dan kalimat-kalimat yang salah. Tidak usah ada kata-kata yang begitu formal beserta pembukaan, isi, dan penutup suratnya. Karena aku rasa aku akan menulis begitu banyak hingga tak akan ada pembukaan dan penutup. Mungkin semuanya adalah isi.

Entah kapan, mungkin kamu akan membuka surat ini. Jika feeling kita sebagai sahabat kuat, kamu akan mengetahui aku menyelipkan surat ini di bagian bukumu yang paling aku suka.

Aku senang Tuhan mempertemukan aku, kamu, dan Freya. Aku senang, kalianlah yang Tuhan berikan. Bukan remaja-remaja lain yang gaul, yang senang membuang uang, yang nakal, yang punya kekasih di mana-mana. Kalianlah yang Tuhan titipkan padaku. Kalian yang apa adanya, yang suka irit, yang suka bertukar pikiran, yang pintar, yang cantik, yang baik, yang suka mengingatkan untuk shalat, yang JOMBLO, dan yang menyebalkan! Hah, betapa beruntungnya aku, kan?

Nirmala! Masih ada aku dan Freya. Memang, kita tidak bisa selalu ada di sisimu. Tetapi setidaknya, aku dan Freya akan setia mendengarkan keluhan-keluhanmu. Kita dipertemukan di Sirius, ingat? Dan aku tahu Sirius pun bagian dari kita. Tapi begitu, dirimu dan Freya memiliki makna lebih. Kalian adalah hadiah terindahku. Sisters from different mother.

Nirmala! Jangan kamu pendam apa pun itu sendirian. Ketika kamu meledak, kamu malah akan melukai dirimu sendiri. Dengar aku. Aku pun pernah seperti kamu. Tapi, bukankah kita sahabat sejati?

We love you, Nirmala.

Kiera

***

Juni 2016

“Apa kamu pernah bertemu seseorang sepertiku dalam sepanjang hidupmu?” tanyaku pada Kala suatu hari, saat tengah menemaninya membeli kado untuk orang tersayangnya di sebuah mal di Kota Bandung.

Dia menggeleng. “Belum.”

Kami melangkahkan kaki naik eskalator berbarengan. “Kenapa?”

“Karena belum saja menemukan seseorang sepertimu.”

Lihat selengkapnya