"Aku enggak ingin menjatuhkan hatiku lagi." Demi Tuhan, aku enggan bermain-main dengan hati lagi. Semuanya tidak berujung baik. Dan aku tidak ingin merasakan lagi. Aku tidak ingin menjumpai akhir cerita yang sama lagi. Aku tidak ingin patah hatiku terulang kembali. Bukankah alasan tersebut cukup masuk akal untuk membuat sebuah keputusan seperti itu?
“Nirmala,” ujar Kiera. “Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
“Aku tahu betul hidupku,” protesku.
“Memangnya bagaimana hidupmu itu?”
Aku tersenyum. “Menyedihkan sampai-sampai aku nyaris gila.”
Freya menatapku cuek. “Paling-paling nanti kemakan omongan sendiri.”
Aku meringis kesal.
Kiera melerai, “Lelah?”
Aku mengangguk yakin. “Masih ada harapan, kan?” tanyaku.
“Untuk?” tanya keduanya.
Aku tersenyum nanar. “Bahagia.”
Kiera merangkulku. Dalam dekapannya, aku merasa hangat. Sahabatku yang berkacamata itu memang tahu persis apa yang aku rasakan. “Nirmala, setiap makhluk yang memiliki hati berhak bahagia.”
“Tapi, hatiku sudah sekarat,” ucapku, “aku lupa bagaimana caranya berbahagia.”
Kali ini Freya ikut nimbrung dalam dekapan kami.
“Jangan takut,” bisik Kiera. “Enggak ada hal yang pantas kamu takutkan. Percayalah, waktu kejayaanmu akan datang kembali.”
“Iya, Nir,” sambung Freya. “Akan ada saat di mana kamu menghirup napas dengan sangat lega.”
“Kamu masih percaya, kan?”
Aku terdiam.
“Kadang-kadang, aku ingin marah pada hal-hal yang membuatmu seperti ini. Kasihan sekali kamu, Nirmala.”
Aku terdiam.
“Bebaskan hatimu.”
Aku melepaskan dekapan mereka lalu menatap satu per satu dua perempuan cantik sekaligus sahabatku yang tidak akan pernah tergantikan itu. “Hei, sudahlah,” kataku sambil tersenyum. “Ngomong-ngomong, nih. Ada temannya Lula, namanya Angkasa. Aku pernah bertemu dengannya dua tahun yang lalu. Dan nanti, aku akan bertemu dengannya di hari pertama aku kuliah. Kami sekampus. Satu fakultas.”
“Serius?”
Aku mengangguk.
“Lalu?”
“Kayaknya ramai punya teman kayak Angkasa.”
Kiera tersenyum. “Iya, Angkasa memang orangnya edan, cuy!”
“Awas baper!”
Aku menggeleng. “Aku enggak akan jatuh cinta dengan tipikal orang seperti itu.”
“Masa?”
Aku tertawa kesal. “Iya!”
“Kita lihat saja nanti.”
“Kan sudah aku bilang, aku enggak akan menjatuhkan hatiku lagi. Pokoknya, enggak akan pernah!” seruku berapi-api.
Keduanya bertatapan lalu tersenyum masam. Keduanya bertingkah seolah-olah seperti bisa membaca masa depan yang akan terjadi padaku. Memangnya, apa yang akan terjadi padaku? Entahlah. Aku sendiri pun tidak tahu betul apa yang akan terjadi.
Aku dan dia sama-sama tahu, kami akan saling bertemu. Di tempat dan jam yang sama. Di sebuah perkumpulan pertama. Dan kami telah saling berjanji akan bertemu. Lalu memulai sebuah kehidupan yang baru, bersama-sama, dengan hati yang terbuka.
***
“Nanti kita ketemu, ya.”
“Mau banget ketemu aku?”
“Um, kan kita sekampus. Cepat atau lambat pasti bertemu.”
“Iya,” kataku. Lalu diam-diam aku tertawa.
Itu pesan singkat kami. Pesan itu akan segera berubah menjadi doa yang terkabulkan Tuhan. Rasanya seperti aku baru saja bangun dari tidur panjangku.
***
Food court daerah Cikutra, 26 Maret 2015
Aku lihat Lula dan seorang pria yang tak asing datang dan sedang memesan makanan tak jauh dari mejaku dan teman-temanku.
“Sebentar ya, itu ada teman lamaku,” kataku.
Aku bangkit dari kursi lalu berjalan menghampiri meja keduanya.
Lula menoleh padaku dengan wajah sumringah. “Nirmala?”
“Hei, Lula! Kangen!”
“Parah sih, ini kangen banget!” balasnya lalu bangkit dan memelukku dengan erat. Aku tersenyum.
“Ngapain di sini?” tanyanya.
“Traktiran temen yang ultah. Kita habis naik kereta dari Stone Garden.”
“Padalarang? Gila.”
“Iya!” aku tertawa.
Setelah berpelukan beberapa detik, aku mengalihkan pandangan kepada seorang pria berkacamata yang datang bersama Lula. Dia tengah memainkan ponselnya.
“Hei, aku tahu kamu,” kataku sambil menatap pria itu. Dia menatapku. “Angkasa, kan?” Dia tersenyum. Kami berjabat tangan. “Nirmala.” “Udah tahu, kok.”
***
Aku merasa bahagia ketika menjalin suatu ikatan yang erat bersama teman-teman lama. Karena saat bertemu, pikiran kami akan kembali ke hari pertama saat kami berjumpa. Atau bercerita tentang kejadian lucu di masa lalu, lalu mentertawakan kebodohan-kebodohan yang pernah kami lakukan. Aku adalah tipikal orang yang menghargai pertemanan sehat. Sirius adalah buktinya.
Aku mengingat dengan baik setiap momen yang terlewati bersama seorang teman.
Waktu masih di taman kanak-kanak, aku punya teman laki-laki. Ya, semacam pacar bohong-bohongan.
Namanya Daffa. Dia blasteran. Kami akrab karena sama-sama suka mencari siput kecil di taman belakang sekolah. Atau paling tidak, waktu kami tengah bermain ayunan di halaman TK, dengan sok jagoan dia berdiri di atas ayunan sambil bergelatungan di palang besi atasnya. Aku sudah melarangnya matimatian. Tapi Daffa bandel. Benar saja, Daffa jatuh dan kepalanya bocor. Darah mengalir deras dari se-la-sela rambutnya. Aku menangis ketakutan sambil berteriak-teriak. Semenjak kejadian itu, aku jadi jauh dengannya. Tiga belas tahun telah berlalu dan yang aku tahu, sekarang Daffa sudah jadi pemuda karang taruna kompleks tempat dulu kami tinggal. Aku telah pindah rumah dari kompleks itu. Kalau mengenang itu, aku jadi tersenyum.
Waktu aku duduk di bangku sekolah dasar, seperti anak-anak pada umumnya, aku mempunyai geng kecil. Anggotanya terdiri dari aku, Mitha, dan Tiara. Lucunya, persahabatan kami tidak berjalan dengan mulus. Kami kejar-kejaran ranking selama enam tahun. Ranking kesatu, kedua, dan ketiga dipegang oleh kami. Kami saling menyalip. Kami saling membicarakan satu sama lain. Kami bermusuhan. Waktu telah berlalu. Sekarang kami telah menemukan jalan kami masing-masing. Each of us finally found our way and survive. Tapi, kalau aku mengingat hal-hal itu, aku tak keberatan.
Waktu duduk di bangku sekolah menengah pertama, aku mendapat kado yang tak tertandingi dari Tuhan. Aku dipertemukan dengan dua belas bintang yang bersinar paling terang alias Sirius. Demi Tuhan, kami menangis, kami bertawa, kami marah, kami kecewa, kami melakukan kesalahan terbaik. Rasanya, aku ingin waktu itu dibekukan saja selamanya.
But time flies.
Waktu aku beranjak masuk dunia putih abu-abu, aku sedih. Aku pikir, terpisah sekolah dengan Sirius adalah malapetaka. Aku tidak menemukan temanteman seperti mereka. Aku hampir kehilangan jati diri. Ada seorang pria yang berbaik hati bersahabat denganku, tetapi yang kuingat adalah janjinya yang tak pernah ditepati olehnya. Ketika aku lulus dari tempat itu, aku merasa bebas, seperti burung yang terbang lepas!
Dan kini, aku akan melewati masa transisi besarbesaran dalam hidup. Oh, tidak. I really don’t have any clue about what’s going to happen next. Karena, aku seperti hendak menulis sebuah cerita yang aku sendiri pun tidak memahami konsep cerita itu seperti apa.
Aku tak yakin masih mengenali Angkasa atau tidak. Yang jelas, dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengubah penampilan seseorang. Aku hanya mengamati Angkasa lewat media sosial. Aku sama sekali tidak berspekulasi apa pun terhadap dirinya. Sama sekali tidak. Aku seperti tengah menunggu sebuah kejutan dan terus menerka sendirian. Pikiranku terus bertanya-tanya soal dirinya.
Kata teman-temanku, Angkasa orangnya periang. Makanya, dia punya banyak teman. Dia juga nyentrik. Berani tampil beda saja gitu. Dia juga enak diajak berbicara dan sama sekali tidak cuek.
Dengan sabar aku mengamati pintu gerbang itu sambil berdiri di bawah terik matahari yang mulai menyengat menembus kardigan rajutku yang cukup tebal. Sesekali aku melihat jam tangan. Aku masih sabar.
Tak lama dia datang.
Aku memicingkan mata. Rambutnya gondrong seleher dan ditutupi topi warna cokelat muda. Dia pakai kacamata minus. Tubuhnya sudah jauh lebih tinggi sekarang. Mungkin, aku hanya sepantar bahunya. Tenggorokanku sempat tercekat. Aku masih mengenalinya.
Itu dia! Itu dia!
Aku masih berdiri di tempatku serta berharap dia dapat melihatku yang berdiri dengan sedikit kikuk. Beberapa detik kemudian, dia melihat ke arahku dan tatapannya berhenti tepat padaku. Dia tampak mengamati diriku sebentar untuk benar-benar memastikan kalau itu adalah aku. Mungkin, dia juga takut salah.
Aku tersenyum saat dia berjalan mendekatiku. “Hai, Angkasa.”
“Nirmala,” balasnya.
“Apa kabar?”
Aku tersenyum. “Baik, kamu?”
“Aku sedih.”
“Kenapa?”
“Sebentar lagi ospek,” balasnya.
Aku mengerutkan dahi. “Lalu?”
“Itu artinya, kepalaku harus botak,” jawabnya. “dan aku belum siap.”
Belum apa-apa, aku sudah tertawa.