Jatuh Cinta Seperti Film India

Agung Pangestu
Chapter #1

1. Dua Orang Asing

Siapa mereka?

           Itu pertanyaan yang muncul pertama kali di kepala. Kenapa mereka bisa ada di sini? Pertanyaan berikutnya terus berdatangan. Namun segalanya masih menjadi misterius. Ranjang ini seharusnya terasa luas untuk aku seorang. Anehnya pagi ini, ranjang tersebut terasa ganjil dan mendadak jadi sempit. Ada dua orang asing yang tidur menghimpitku dari dua arah. Dengkuran halus dari mereka menyadarkanku bahwa mereka berdua bukanlah guling yang biasa ada di sampingku ketika tidur.

Aku langsung bangkit dari kasur dengan kondisi paling panik. Mencoba melihat siapa sebenarnya dua orang asing yang mendadak bisa berada di sana. Terlihat sesosok pria tua memakai kemeja lengkap dan celana panjang hitam tertidur pulas di samping kiri ranjang. Masih dengan mengantuk, aku paksakan mataku untuk melihat ke samping kanan ranjang. Di sana ternyata ada seorang anak kecil dengan tas kecil yang dia gendong dan bahkan sepatu yang masih dia kenakan dengan posisi yang masih sama terlelap. Sekali lagi, aku terus mengucek mataku keras-keras berharap bahwa kegilaan ini berasal hanya karena aku belum sepenuhnya terbangun dari mimpi. Hingga beberapa cubitan di pipi tetap tidak berhasil membangunkanku. Yang artinya, apa yang sedang kujalani ini nyata. Dua orang asing yang mendadak ada di kamar ini juga nyata.

“RAMPOOOK!!!” teriakku. Hanya itu satu-satunya penjelasan yang paling masuk akal untuk menjelaskan semua keanehan yang terjadi pagi ini.

Nyatanya teriakan itu membuat mereka berdua langsung terbangun dari tidurnya. Cukup untuk membuat wajah mereka berdua menjadi terlihat lebih jelas. Pada detik itu, rasanya aku kehilangan satu atau dua denyut jantung. Terutama ketika aku melihat wajah anak kecil itu. Aku tak ubahnya sedang bercermin karena wajah itu kuhapal sekali. Wajah itu adalah wajah milikku ketika masih kecil. Bagaimana bisa?

“Kamu kebanyakan minum aspirin ya? Mana ada rampok modelan kakek tua bangka kayak aku ini dan bocah ingusan seperti dia. Mau ngerampok tisu galon?” umpat kakek tua yang ada di sampingnya.

Aku melirik ke arah kakek tua itu. Untungnya, wajahnya sama sekali tidak kukenali dan bukan seseorang yang bisa kuingat. Namun anehnya, perasaan familiar lantas muncul begitu saja ketika melihat wajah tua itu meskipun sudah ditutupi keriput. Seakan-akan aku sudah bertahun-tahun mengenalnya.

“Oke, jadi akhirnya saya masuk ke mana? Surga atau neraka?” Kakek itu bertanya ringan sekali. Padahal jelas-jelas kalau akulah yang paling berhak menanyakan kenapa mereka berdua bisa mendadak ada di kamar kostku?

“Om … mamaku mana?” kini giliran bocah itu yang merengek.

Kepalaku rasanya mau meledak. “Kalian ini siapa?”

Mereka berdua lantas memandang asing ke arahku dan juga memandang asing ke satu sama lain. Seakan menegaskan bahwa mereka berdua juga tidak saling kenal.

“Aku Gunawan.” Balas anak kecil itu.

“Saya Gunawan.” Kakek tua itu juga memberikan nama yang sama.

Cukup sudah, kepalaku hampir benar-benar meledak. Bagaimana mungkin, ada tiga orang Gunawan di kamar ini? Sudah cukup jelas. Aku memang mabuk aspirin atau tenggelam terlalu dalam mimpi sampai tidak sanggup untuk bangun lagi. Ini semua terlalu gila untuk bisa menjadi kenyataan.

Kakek itu mengambil tongkat yang ternyata ada di sampingnya. Dengan perlahan-lahan, ia bangkit dari kasur. “Namamu juga Gunawan kan?”

Tanyanya dengan yakin seakan sudah mengetahui jawabannya. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Mengiyakan dari pertanyaannya barusan.

“Sudah kuduga. Makanya tadi  saya tuh nanya. Jadi saya ini sudah masuk ke surga atau neraka? Saya pasti sudah mati kan? Makanya saya bisa ketemu dua orang dari masa lalu saya.” Kakek itu berjalan mendekat ke arahku.   

Dari masa lalunya? Kakek ini sukses membuatku makin bingung.

Seakan bisa membaca kebingungan di wajahku, kakek itu melanjutkan, “Kamu adalah saya waktu usia dua puluhan. Sedangkan dia adalah saya waktu masih kecil.” Tunjuk kakek itu pada bocah kecil di sampingnya. “Ini adalah kilas kenangan kematian.” Ujarnya enteng.

Refleks aku mencubit tangan kakek itu dengan cukup kencang. Tentu saja dia langsung menjerit keras, kesakitan. “Sakit itu kalau bukti kalau kakek itu masih hidup. Kita bertiga itu masih hidup.” Jelasku mencoba memberi pengertian.

Hening. Kami bertiga saling bertatapan satu sama lain. Masih mencoba mencerna semua.

Sampai pintu kamar kostku diketok keras dari luar. Menandakan bahwa sudah banyak orang di luar sana yang menggedornya. Dengan bergegas, aku segera membukanya. Benar saja, terlihat, seluruh penghuni kost sudah ada di depan pintu kamar kostku.

“Gunawan, ada apa?” tanya mas Hugo dengan wajah polosnya.

“A .. ada .. ram … ram …” di sebelahnya, Galang bertanya dengan gagap.

Lihat selengkapnya