Ok, dari mana aku harus memulainya?
Bagaimana kalau aku memulainya dari aku yang tidak pernah percaya kalau hidup itu adalah pilihan. Jika memang hidup adalah pilihan, kenapa aku tidak pernah kebagian mendapatkan kesempatan melempar dadu? Yang kulakukan selama ini hanyalah berjalan pada peta yang sudah disiapkan. Semuanya sudah dimulai ketika aku lulus sekolah dasar dan Bapak membuang semua peralatan menggambarku. Bahkan dia juga membakar semua gambarku di tong sampah. Mau makan apa jadi komikus? Begitu selalu Bapak bilang. Ia selalu membenci konsep mimpiku yang ingin hidup dari menggambar. Baginya itu terdengar kekanak-kanakan bahkan omong kosong. Semenjak itu, Bapak selalu berusaha mati-matian menjauhkanku dari kertas gambar. Bapak kemudian menyiapkan peta khusus untukku dengan dia sendiri yang melemparkan dadunya.
Dadu pertama terlempar, Bapak memasukanku di SMA favorit rekomendasi temannya. Menurut temannya, di sekolah tersebut anaknya berhasil masuk PTN favorit. Bapakku tidak ingin kalah, beliau bukan hanya memasukanku ke SMA itu tapi juga memaksaku untuk ikut berbagai les selepas sekolah. Les Matematika, Les Fisika atau Les Kimia. Apa saja asalkan bukan les menggambar. Dadu berikutnya lantas kembali terlempat, selepas lulus SMA Bapak meminta untuk mengambil PTN dengan jurusan prospek karir menjanjikan. Jurusan Akutansi, Jurusan Perbankan dan Jurusan Ekonomi yang kemudian menjadi pilihan. Hingga akhirnya aku masuk salah satu PTN jurusan Ekonomi di Jogja. Bapak mengatakan bahwa hidupku pasti akan terjamin dan bahagia jika mengikuti jejak peta yang sudah beliau persiapkan. Bapak lebih tahu hidup daripada aku, begitu katanya.
Akhirnya, lemparan dadu itu membawaku pada tempat ini. Di sebuah ruangan ber-AC, dengan tumpukan dokumen yang menggunung dan lapisan kaca yang memisahkan aku dengan customer bank yang terus berdatangan. Dari Senin sampai Jumat, dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, dari bangun pagi yang terburu untuk pulang sampai di kost dengan perasaan tidak tahu yang dicari apa. Gaji? Aku juga sering meyakinkan diri sendiri bahwa aku melakukan semua ini demi nominal angka nol yang akan ditransfer setiap bulan. Namun, benarkah semua ini sepadan? Menjalani rutinitas yang sama terus diulang-ulang seperti kaset rusak. Ini sudah tahun ketigaku bekerja di salah satu cabang bank terbesar di Indonesia yang berlokasi di Ibukota. Bapak benar, aku mendapatkan karir yang menjanjikan. Gaji yang menjanjikan, gengsi yang diharapkan, tangga karir yang jelas bisa dinaiki dan bahkan bonus tiap akhir tahun. Peta yang disiapkan Bapak memang sudah sempurna dan tidak memiliki cela.
Everyman dies not everyman really lives.
Mel Gibson pernah bilang gitu di film Braveheart. Kalimat yang terus menuhin kepala ini dengan banyak pertanyaan. Aku pasti akan mati, tapi apa aku benar-benar sudah hidup? Satu pertayaan yang kemudian mengundang banyak pertanyaan lain untuk datang. Bertanya tentang makna hidup, bertanya tentang tujuan hidup di dunia ini sebenarnya mau ngapain sih, apakah aku yang sudah berusia seperempat abad sudah melakukan dan memilih jalan yang benar? Benarkah peta yang disiapkan Bapak ini akan membawaku ke jalan kebahagiaan seperti yang aku inginkan. Supaya nanti bisa mati bukan hanya bawa daging tapi juga bawa kenangan karena telah menjadi manusia seutuhnya. Nyatanya masih ada sebuah lubang di hati yang terus kosong. Sampai hari ini, aku masih belum tahu dengan apa aku bisa mengisi lubang kosong itu?
“Udah .. resign aja!” Bobby yang duduk di sampingku langsung menyahut.
Rekan kerjaku yang satu ini memang tidak pernah bisa diajak curhat.
“Nggak semudah itulah Bob. Adik gue sebentar lagi mau masuk kuliah dan Bapak juga nggak lama lagi bakal pensiun dari kerjanya. Mau nggak mau, gue bakal jadi tulang punggung keluarga. Apalagi kalau gimana nantinya ternyata bapak kena kecelakan kerja dan mendadak pensiun mendadak? Terus adik gue gimana kalau ternyata dapat beasiswa ke luar negeri tapi nggak ada biaya untuk hidup di sana. Adik gue gagal dong kuliar di luar negeri. Semuanya itu gara-gara gue. ” Aku memberikan alasan. Galau.
Bobby bengong melihat ke arahku. “Lo emang rajanya overthinking ya? Jauh banget ngayalnya.”
Aku menggerakan bahu menandakan bahwa semua kemungkinan itu bisa saja terjadi.
“Ya udah, gak usah resign aja.” Kembali Bobby membalasnya dengan enteng.
“Tapi Bob … kalau gue nggak resign nanti …”
“Nah … nah … mau lo apa sih? Gak resign segan, resign pun tak mau. Kayak lagu dangdut lo!” Bobby langsung menyela ucapanku bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatnya.
Rekan kerjaku yang satu ini memang selalu bicara tanpa tedeng aling-aling. Namun dari semua rekan kerja di sini, dengan Bobbylah aku paling dekat. Barangkali karena kita berdua masuk ke bank ini bersama-sama. Tiga tahun yang lalu sama-sama masuk sebagai anak bawang yang seringkali digencet senior dan juga dimaki-maki nasabah. Ditambah kami berdua masuk di bagian kredit di Bank ini. Bisa dipastikan, kami berdua sudah hapal dengan ekspresi sumringah para nasabah ketika mengajukan kredit tapi mesam-mesem ketika jatuh tempo membayarnya. Bobby lebih beruntung karena dengan badannya yang bongsor maka dia dengan mudah mengintimidasi nasabah yang seringkali memberikan berbagai alasan tentang penunggakan pembayaran kredit. Sedangkan aku yang memiliki tubuh kurus ini malah lebih sering mendapatkan intimidasi dari nasabah.
“Bob … menurut lo, hidup itu pilihan bukan sih?” aku kembali menanyakan pertanyaan yang menganggu pikiranku.
“Gue juga nggak tahu dan nggak peduli. Mau itu pilihan atau nggak bukan itu yang penting. Yang penting itu lo bahagia atau nggak menjalaninya.” Bobby menjawab tegas.
“Terus lo bahagia sama hidup lo sekarang?”
“Bahagia-bahagia aja. Punya kerjaan, bisa makan tiga kali sehari, pulang bisa rebahan sambil nonton Netflix terus kalau weekend bisa nonton di bioskop.” Aku berdecak kagum, seandainya aku punya pemikiran sesederhana Bobby. Barangkali aku tidak perlu memikirkan sesuatu yang tidak perlu dipikirkan, menanyakan sesuatu yang tidak perlu ditanyakan. Barangkali aku bisa mengisi kekosongan itu dan bisa bahagia.
Mendadak, ada setumpuk kertas yang dibanting keras di meja kami berdua. Cukup untuk membuat aku dan Bobby terkejut. Namun setelah tahu siapa orang yang membanting tumpukan kertas itu, kami langsung menciut. Ternyata dia adalah bos kami.
“Gunawan … ini laporan kredit bulan ini coba dicek lagi tanggalnya dan pastiin semua udah benar.” Perintah bos dengan suara tinggi.
Aku langsung mengangguk cepat dan menerima kertas-kertas itu dengan cepat, “Bapak mau data-datanya dilist sesuai tanggal?”
“Iyalah, sesuai tanggal masa sesuai zodiak!”
Aku mengangguk saja. Tidak ingin protes.
“Kalian ini lho kan masih muda. Seharusnya lebih gesit, nggak cuma ngobrol aja. Waktu bapak seusia kalian, udah punya banyak usaha sampingan dan bisnis. Bisnis kuliner, bisnis pakaian sampai bisnis ikan lele. Jadi duit bapak juga banyak. Jelas banyak cewek yang naksir sama bapak. Keren toh? Nggak kayak kalian berdua gini” Mulailah, bos kami ini dengan tabiatnya yang selalu suka pamer.
“Temen saya juga ada yang ngajakin bisnis, pak.” Bobby mendadak menyahut.
“Bisnis apaan?”
“Jual beli undur-undur albino.”
“Jual beli … undur-undur albino?” Bos kami mencoba mengonfirmasi setengah ragu dengan ucapan Bobby. “Itu masuknya undur-undur warna putih gitu ya?”
Bobby langsung menggeleng, “Nggak pak, kalau undur-undur lain jalannya mundur. Nah kalau undur-undur albino nih jalannya break dance gitu.”
“Oalah … SEMPRUL!” umpat bos kami sadar bahwa dirinya baru saja ditipu oleh Bobby. Sedangkan aku sendiri setengah mati menahan ketawa.
Mendadak bos kami menatap Bobby agak lama, “Tumben … cakep.”
Bobby yang mendapatkan ucapan tersebut jelas langsung salah tingkah dan bahkan sempat-sempatnya untuk membetulkan kerah bajunya, “Ah Bapak bisa saja. Mungkin ini karena efek pakai Skincare pak. Jadi dari bulan kemarin, saya tuh udah mulai skincare gitu deh. Mahal loh skincare yang saya pakai pak.” Jelas Bobby bangga.
Bos kami menatap Bobby lama. “Yang saya puji itu sepatumu bukan mukamu. Muka kaya gagang kunci warteg gitu mau pakai skincare sampai susuk juga nggak bakal ngefek apa-apa. HAHAHA.” Bos kami tertawa kencang sambil meninggalkan meja kami berdua.