Jatuh Cinta Seperti Film India

Agung Pangestu
Chapter #3

3. Ksatria Baja Hitam

Hari ini belum genap 24 jam, tapi hidupku sudah resmi kacau balau.

Dimulai dengan pagiku yang mendadak kedatangan dua orang asing yang ternyata mereka adalah diriku sendiri. Lalu sore hari ini, aku mendapatkan kekacauan berikutnya yaitu kakek tua yang merupakan aku versi masa depan ternyata sudah terduduk kaku. Tidak bergerak. Aku jelas panik setengah mati, menyadari bahwa aku bisa saja telah membunuh diriku sendiri.

“Kita harus lapor polisi.” Bobby yang ada di sampingku langsung bergegas mengambil handphone yang ada di saku celananya.

Jelas aku langsung menahannya. “Lo mau ngapain?” tanyaku panik.

“Lapor polisi lah.” Bobby juga menjawab tidak kalah paniknya.

Dengan cepat, aku langsung mengambil handphone Bobby yang sudah menyala dan sudah tertempel di telinganya. Begitu handphone itu ada di tanganku, langsung kumatikan panggilan telepon.

“Kenapa dimatiin?” seru Bobby dengan nada tinggi.

“Lo udah gila ya Bob? Kalau polisi datang ke sini, lo mau ngomong apaan? ‘Maaf pak polisi, kita nemu mayat nih, boleh gak diurus? Kita mau beli es cendol dulu di depan’ hah… lo mau ngomong begitu?” balasku. “Yang ada gue bakal kena pasal pembunuhan.” Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan panik.

“Lo bener. 20 tahun penjara lagi.” Bobby kini mulai mengerti situasinya.

Aku mondar-mandir tidak karuan. Mengacak-acak rambutku sampai tidak lagi berbentuk, “Dan karena lo juga ada di TKP, lo bisa ikut kena. Bisa jadi saksi bahkan bisa sampai jadi tersangka.” Tunjukku ke arah Bobby.

“Anjrit!” Raut wajah Bobby langsung pucat pasi. “Jadi ini alasan lo ngajak gue ke sini? Biar bisa nemenin lo di penjara?”

“Bukan!” jelas bukan itu maksudku mengajak Bobby ke sini. Namun setelah dipikir-pikir, itu bisa menjadi pilihan yang tidak terlalu buruk. Membusuk di penjara bersama teman tentunya jauh lebih baik daripada harus membusuk sendirian. Namun tetap saja kemungkinan tersebut tidak membuatku berhenti untuk terus panik. “Anjrit! … Anjrit … anjrit. 20 tahun penjara Bob. 20 tahun. Nanti di penjara, gue bakal satu sel sama mafia, rampok atau preman. Terus nanti di sel, gue bakal disiksa sama mereka, disuruh-suruh, ditelanjangin dan dijadikan budak. Sampai gue nggak bisa makan, sampai kurus dan dibiarin mati di dalam penjara. Terus bokap gue shock denger kabar gue meninggal terus dia kena stroke. Adik gue gak bisa lanjut kuliah karena harus rawat bokap gue.”

“Heh … monyet! Malah ngeluarin overthinking-nya.” Bobby langsung mencengkram pundakku dengan kuat. “Tenangin diri lo dulu.” teriak Bobby mencoba menenangkan.

Aku mencoba mengatur napas.

“Pertama-tama, lo jelasin dulu. Dia tuh siapa?” Bobby melirik ke arah kakek tua yang sedang terduduk kaku. Sudah pasti dia penasaran tentang identitas kakek misterius itu.

Kini, giliran aku yang bingung. Tidak tahu harus menjelaskannya dari mana terlebih dulu. “Jadi tadi pagi, gue bangun dan mendadak ada dua orang asing yang juga ada ruangan ini.”

“Dua orang asing?” belum sempat aku menyelesaikannya, Bobby sudah menyela terlebih dulu. Curiga.

“Iya, seorang bocah dan satunya lagi, kakek aneh itu.”

“Saya nggak aneh.” Refleks, kami berdua melirik ke asal suara itu. Ternyata suara itu berasal dari kakek itu yang kini sudah bisa berdiri di hadapan kami dengan kondisi rambut acak-acak dan mata merah mengerikan.

“SETAAANNN!!!” Kami berdua berteriak kencang, ketakutan. Aku dan Bobby langsung berpelukan karena panik. Orang yang tadi kira sudah mati ternyata berhasil bangkit dari kematiannya.

“Hyaaaah… setaaan? Di manaaa?” ternyata kakek itu juga ikut teriak ketakutan.

Aku dan Bobby saling berpandangan satu sama lain. “Gunawan, jangan-jangan arwah kakek ini belum sadar kalau dia sudah mati ya?” Bobby memberikan alasan. Masuk akal juga.

Aku langsung mengangguk.

“Manaaa …. Setannya mana?” ternyata kakek tua itu masih belum sadar juga.

Dengan tangan bergemetar ketakutan, aku dan Bobby bersamaan menunjuk ke arah kakek itu. Untuk menegaskan bahwa yang kami maksud setan adalah dirinya sendiri.

Kakek itu bengong ketika melihat jari telunjuk kami berdua mengarah tepat ke arahnya. Setelah beberapa detik, sepertinya dia baru sadar bahwa yang kami tunjuk sebagai setan adalah dirinya. “Sialan. Ngerjain orang tua ya kalian?” ketusnya kesal. Tidak berhenti sampai di situ saja, karena kakek tua ini kemudian mengeplak kepala aku dan Bobby dengan keras untuk melampiaskan rasa kesalnya.

Aku dan Bobby hanya bisa mengaduh kesakitan bersamaan.

“Kenapa kalian bilang saya setan?” kakek itu bertanya dengan kesal.

Lihat selengkapnya