JATUH CINTA SETELAH MENIKAH

Mu Xuerong
Chapter #1

Arunika

Di hati setiap orang, mungkin ada satu sosok yang sangat dicintai, tapi… nggak pernah bisa dimiliki.

Ketika dunia terhanyut dalam gelombang cinta yang nyaris tak masuk akal, aku dan dia bertemu—tak sengaja, di tengah hiruk pikuk kota yang sibuk dan lembap oleh musim hujan. Semuanya terjadi tanpa aba-aba. Tanpa rencana.

Cinta datang begitu saja. Diam-diam. Nggak pernah bilang mau jadi apa. Dan mungkin memang begitu cara kerja perasaan—datang dulu, ribet belakangan.

Sebagai manusia — puncak rantai makanan katanya — kita ini egois. Selalu. Termasuk soal cinta. Kita nggak pernah siap untuk menanggung akibat dari apa yang kita rasakan. Termasuk aku.

Aku nggak pernah nyangka bakal jatuh cinta sama perempuan yang usianya delapan tahun lebih muda dariku. Terlebih lagi, setelah aku menikah. Kedengarannya klise dan menjijikkan, tapi begitulah kenyataannya.

Soal cinta, jujur aja, dulu aku nggak pernah benar-benar serius. Banyak dari kita, terutama anak muda zaman sekarang, melihat cinta sebagai sesuatu yang sementara — sebatas kebutuhan fisik, atau transaksi perasaan yang dihitung untung rugi. Dan mungkin karena itulah aku dulu selalu merasa panik. Takut. Takut terlalu dalam, takut kehilangan, takut dikalahkan.

Aku tumbuh jadi pria yang telat dewasa. Saat orang-orang seusiaku dulu pamer mobil sport dan membawa perempuan cantik ke kursi belakang hanya untuk mengejar sensasi, aku malah bingung. Buat apa semua itu?

Tapi anehnya, justru di dalam ruang sempit, dengan tubuh yang berkeringat dan pikiran yang tak lagi jernih — aku sadar, ada cinta yang nggak bisa dijelaskan pakai logika. Cinta yang absurd, campuran antara keindahan dan rasa bersalah, antara harapan dan sesuatu yang kotor. Tapi nyata.

Aku bertemu Arunika di tahun keenam pernikahanku. Saat itu aku 34 tahun, dan bekerja sebagai dokter jaga di sebuah rumah sakit besar di Jakarta Selatan. Enam tahun pernikahan nggak memberi apa-apa selain rutinitas yang menjemukan. Rasa cinta? Entah sejak kapan menguap. Mungkin sejak kami berhenti saling memandang, atau saat obrolan kami cuma berkisar pada susu bayi dan tagihan listrik.

"Menikah itu kuburan cinta," katanya orang-orang. Dulu aku pikir itu cuma pernyataan sinis. Tapi sekarang aku tahu — itu sepenuhnya benar.

Ketika kamu memilih untuk menikah, kamu juga memilih untuk melepaskan banyak mimpi romantis yang kamu miliki waktu muda. Kamu masuk ke belenggu yang sah, tapi berat. Tidak ada lagi kecupan tergesa-gesa, tidak ada degup-degup bodoh. Yang tersisa? Pertengkaran, pengulangan, dan sesekali rasa hampa yang nggak bisa dijelaskan.

Aku sering bertanya: buat apa orang menikah?

Tapi mungkin pertanyaannya salah. Mungkin yang benar justru, “Buat apa kita hidup?” Kalau jawabannya karena kita mengikuti pola alam — lahir, tumbuh, kawin, mati — maka pernikahan hanyalah bagian dari itu. Sebuah babak wajib dalam naskah kehidupan.

Dan tetap saja, aku gagal memahaminya.

...

Bulan Juli 2007. Musim hujan mulai menyapa kota. Aku menjalani hari-hari yang nyaris identik — jas putih, rambut rapi, kacamata biru kesayangan, dan rutinitas rumah sakit yang penuh jadwal operasi dan aroma antiseptik.

Saat itu, para mahasiswa kedokteran dari berbagai universitas sedang magang. Seperti biasa, kami para dokter senior bertugas menilai mereka satu per satu. Siapa yang bisa bertahan, siapa yang hanya numpang lewat.

Pagi itu, setelah rapat yang buru-buru dan membosankan, aku duduk di ruang konferensi, membaca berkas tanpa benar-benar membaca. Lalu mereka datang—rombongan mahasiswa magang. Pakaian kasual, semangat yang belum hancur oleh kenyataan, dan mata yang masih penuh ambisi.

Dan di antara mereka, aku melihatnya untuk pertama kali.

Dia—Arunika.

Kaos merah muda pucat yang sederhana, celana jeans biru langit, rambut hitam panjang yang diikat seadanya. Bukan jenis perempuan yang menjerit ingin diperhatikan, tapi justru karena itulah dia mencuri sorotan. Matanya tenang tapi tak pasrah. Ada sesuatu dalam cara dia berdiri — perpaduan antara kelembutan dan keyakinan.

Dan entah bagaimana, pandanganku terpaku lebih lama dari seharusnya.

Aku tahu ini nggak profesional. Aku tahu ini berbahaya. Tapi tetap saja, ada gemetar kecil di dalam dadaku. Halus… tapi nyata.

Dia maju ke depan untuk wawancara awal. Aku membaca namanya dari lembar data — Arunika Prameswari.

“Arunika, ya?” ucapku, mencoba terdengar datar.

Lihat selengkapnya