Seharusnya hari-hari tetap berjalan seperti biasa. Tapi setelah kabar itu beredar, semuanya berubah.
Tatapan rekan kerja jadi berbeda. Obrolan kecil yang dulu hangat, kini berhenti saat aku lewat. Dan Arunika—yang biasanya tenang dan penuh tawa—tiba-tiba menjadi bayangan yang bergerak diam-diam di lorong rumah sakit. Tak ada lagi candaan saat briefing. Tak ada lagi sisa senyum saat jaga malam.
Sejak dipanggil ke ruang manajemen, aku tahu: semuanya tak bisa lagi disangkal.
Foto yang beredar memang tidak eksplisit—sekilas hanya dua orang yang duduk terlalu dekat di dalam mobil. Tapi dalam dunia yang penuh asumsi, kadang bayangan lebih menyakitkan dari kenyataan.
Aku duduk di ruang direktur bersama HRD dan Kepala Rumah Sakit.
"Dr. Rangga, hubungan pribadi Anda dengan peserta didik bisa menimbulkan konflik kepentingan. Kami tidak akan menjatuhkan sanksi, tapi Anda disarankan mundur dari peran pembimbing langsung. Dan... ambil cuti sementara."
Mereka tidak membentak. Tapi kata-katanya seperti palu yang menghancurkan pondasi yang kupikir kokoh.
Sore itu, aku menemui Arunika di lorong belakang ruang radiologi. Tempat yang dulu terasa seperti dunia kecil milik kami berdua.
"Aku cuti," kataku.
Dia menatapku dalam. "Karena aku?"
"Karena kita."
Dia menunduk, menarik napas panjang. "Maaf. Harusnya aku nggak membiarkan ini sejauh ini."
Aku menggeleng. "Jangan minta maaf. Kita hanya... jatuh hati di waktu yang salah."
Kami duduk lama di tangga darurat. Tak ada kata. Hanya diam yang mengisi ruang di antara kami, seperti dua orang yang tahu akhir cerita, tapi belum siap mengucapkannya.
Hari-hari cuti terasa seperti hidup di tubuh orang lain. Tidak ada jadwal. Tidak ada panggilan darurat. Tidak ada Arunika.
Aku bangun, bukan karena alarm, tapi karena sinar matahari yang terlalu terang. Dinda masih bangun lebih dulu. Membuat teh. Menyiram tanaman. Tapi tidak menyapaku.
Pagi keempat, aku menyalakan laptop dan mengetik satu kalimat: