Sudut pandang Dinda.
Aku kembali bukan karena aku sudah memaafkan. Tapi karena aku ingin tahu—apakah rumah ini benar-benar sudah mati, atau cuma kehabisan napas?
Pulang ke rumah setelah dua minggu terasa seperti masuk ke kenangan yang membeku. Bau kopi pagi yang dulu biasa, kini menusuk. Foto pernikahan di dinding seperti menyeringai sinis: "Masih yakin dengan pilihanmu?"
Aku tidak tahu. Tapi aku kembali.
***
Rangga menyambutku dengan keheningan. Tidak ada pelukan. Tidak ada tanya yang memaksa. Hanya dua cangkir teh, dan suara sendok beradu pelan. Mungkin karena kami berdua tahu, percakapan yang terlalu cepat justru bisa menyakiti.
Aku menatapnya diam-diam. Wajah yang kukenal itu terlihat lebih lelah dari terakhir kali aku lihat. Ada garis kesedihan di bawah matanya, dan aku tahu... luka itu bukan hanya milikku.
"Kalau kamu mau pergi, aku nggak akan menahan," katanya lirih.
Bukan kalimat yang ingin kudengar, tapi mungkin satu-satunya yang jujur saat itu.
"Kalau aku mau tinggal?"
Ia mengangguk. "Kita mulai dari duduk bareng. Tanpa topeng. Tanpa pura-pura bahagia."
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa dia benar-benar melihatku. Bukan sebagai istri yang sempurna, bukan sebagai bagian dari rutinitas, tapi sebagai seseorang yang patah dan memilih untuk tetap duduk di sini, bersamanya.
Hari-hari setelahnya tidak langsung membaik. Kami masih kikuk. Masih terlalu banyak kalimat yang tertelan. Tapi ada usaha. Dan bagiku, itu sudah cukup sebagai permulaan.
Ia mulai memasak lagi, walau hanya telur dadar. Aku mulai mencuci bajunya lagi, walau belum bisa menyentuh bajunya yang dulu biasa kugantung dengan bangga. Kami seperti dua orang asing yang sedang belajar ulang nama masing-masing—bukan dari suara, tapi dari luka.
Suatu malam, aku berdiri di depan cermin kamar. Melepas baju, melihat tubuhku sendiri. Tubuh yang pernah dia cintai. Tubuh yang diam-diam pernah dibandingkan dengan milik perempuan lain. Bukan secara fisik, mungkin. Tapi dibandingkan dalam diam yang panjang.
Aku menangis. Bukan karena benci padanya. Tapi karena aku takut tak akan pernah utuh lagi.
Pagi-pagi, dia membawakan aku teh. Tanpa kata. Tapi dia duduk di sebelahku, tangannya gemetar sedikit saat meletakkan cangkir. Dan untuk pertama kalinya, aku lihat ia ketakutan. Takut kehilangan. Takut tak mampu membayar semua yang sudah hancur.
"Aku nggak mau janji lagi," katanya akhirnya. "Tapi aku mau belajar jalanin ini bukan karena aku takut sendirian. Tapi karena aku tahu kamu rumahku."