Sudah dua bulan sejak Dinda kembali ke rumah. Dua bulan sejak kami mulai bicara lagi, meski masih sering dalam jeda yang panjang. Dua bulan yang terasa seperti belajar ulang cara mencintai—tanpa asumsi, tanpa ekspektasi.
Kupikir aku sudah bisa benar-benar meninggalkan Arunika. Kupikir, kehadiran Dinda yang pelan tapi pasti sudah cukup membuatku tak menoleh ke belakang. Tapi kenyataannya, perasaan tidak bisa dibunuh hanya karena kita menginginkannya mati.
Hari itu, aku sedang menghadiri seminar medis di kota lain. Hanya dua hari, dan Dinda mempercayakanku untuk pergi sendiri. Ia bahkan mengepakkan bajuku dengan tangan sendiri—hal kecil yang dulu terasa biasa, kini menggetarkan.
Aku pikir semuanya akan berjalan lancar.
Tapi lalu, di koridor hotel tempat seminar itu diadakan, aku melihat sosok yang sangat kukenal dari kejauhan. Rambutnya dikuncir seperti biasa. Jalannya cepat, tapi langkahnya ringan. Dia tertawa pelan saat seseorang memanggil namanya.
Arunika.
Dunia seketika terasa menyempit. Aku berdiri membeku. Entah bagaimana dia bisa di sini. Mungkin karena rumah sakit tempatnya bertugas kini memang sudah naik status dan punya koneksi ke acara seperti ini. Atau mungkin ini hanya skenario hidup yang kejam.
Ia melihatku. Terkejut, jelas. Tapi tak ada senyum. Hanya anggukan kecil, seolah berkata: kita bukan siapa-siapa sekarang, kan?
Kami tidak berbicara hari itu. Tapi malamnya, aku menerima pesan di ponsel:
"Boleh kita ngobrol sebentar, Dok? Hanya bicara, aku janji."
Dan seperti laki-laki yang belum sepenuhnya sembuh, aku menjawab: "Oke."
...
Kami duduk di kafe hotel. Ia memesan teh, aku tidak menyentuh apa-apa.
"Kamu kelihatan lebih tenang," katanya.
Aku mengangguk. "Aku mencoba menjadi orang yang nggak nyakitin orang yang sayang sama aku."
Ia menatapku, senyum itu masih seperti dulu—lembut, tapi menyimpan luka.
"Baguslah. Aku senang dengarnya. Dinda... dia baik. Terlalu baik."
Aku menelan ludah. "Arunika... kenapa kamu hubungi aku?"
Ia diam lama. Lalu berkata:
"Karena aku belum benar-benar pamit waktu itu. Dan aku rasa... aku juga perlu sembuh."
Obrolan malam itu tak berlangsung lama. Tidak ada pelukan. Tidak ada kata cinta. Hanya dua orang yang pernah kehilangan arah, kini saling mengakui kesalahan tanpa menyalahkan. Tapi saat dia pamit dan berjalan pergi, aku tahu—itu adalah perpisahan sungguhan. Bukan yang diliputi hasrat. Tapi yang menyisakan pengertian.
Dan anehnya, malam itu aku tidur lebih nyenyak daripada malam-malam sebelumnya.
Keesokan harinya, aku pulang ke rumah. Dinda menyambutku di depan pintu. Ia tidak tanya apa-apa. Tapi saat aku memeluknya, lebih lama dari biasanya, dia tahu—ada sesuatu yang sudah selesai, dan sesuatu yang baru sedang mulai tumbuh di antara kami.
"Kamu nggak bawa oleh-oleh?" tanyanya sambil bercanda.