Pagi itu, kami berangkat lebih pagi dari biasanya. Dinda duduk di kursi penumpang, memandang ke luar jendela, mengenakan blus putih sederhana dan celana kain abu-abu. Tangannya memainkan ujung kerudung, tapi tak berkata apa-apa. Perjalanan ke rumah ibunya seperti menuju sebuah pengadilan—bukan karena dia bersalah, tapi karena terlalu banyak luka yang belum benar-benar dibicarakan.
Aku tak bertanya apa pun. Aku tahu, keberaniannya datang dari dalam. Dan tugasku bukan mengorek, tapi menemani.
Sesampainya di sana, halaman rumah ibunya masih sama: ada pohon jambu yang mulai rimbun dan suara ayam dari belakang rumah. Tapi udara terasa lebih berat. Seolah kenangan masa lalu masih tergantung di tiap sudut teras.
Ibunya membukakan pintu. Wajahnya kaku beberapa detik, lalu sedikit melunak saat melihat kami datang berdua.
"Kalian lapar?" tanyanya, lebih sebagai basa-basi daripada perhatian tulus. Tapi Dinda mengangguk pelan.
Kami makan dalam diam. Hanya suara sendok dan piring yang saling menyentuh. Lalu, seperti yang sering terjadi dalam keluarga, luka akhirnya mencari ruang untuk keluar.
"Dinda," suara Ibu terdengar pelan, "kenapa baru sekarang kamu datang lagi?"
Dinda menatap ibunya. Tak ada air mata, hanya mata yang jernih penuh kelelahan.
"Karena aku baru cukup kuat untuk datang, Bu."
Ibunya menginginkannya. Aku menahan napas. Tapi Dinda melanjutkan.
"Aku tahu semua orang kecewa. Termasuk Ibu. Tapi aku tidak datang hari ini buat minta Dipahami. Aku cuma ingin Ibu tahu, aku masih mau memperjuangkan rumah tanggaku. Dan aku mau memulainya dengan jujur."