Hari Minggu pagi, Dinda duduk di depan cermin. Ia merapikan kerudungnya dengan gerakan perlahan, penuh kesadaran, seolah sedang menyiapkan diri untuk sebuah pertarungan yang tenang. Di meja rias, ada sebotol kecil parfum, lipstik warna netral, dan bros kecil pemberian ibunya yang dulu jarang dipakai.
"Aku siap," katanya tanpa menatapku.
Aku menatap bayangannya di cermin. Matanya tak lagi sembab seperti beberapa bulan lalu. Ada cahaya baru di sana—tidak terang benderang, tapi cukup untuk menuntun.
Kami hendak ke rumah orang tuanya. Untuk pertama kalinya sejak segalanya runtuh.
Perjalanan ke sana terasa panjang. Bukan karena jaraknya, tapi karena setiap kilometer seakan membawa beban yang tak kasat mata. Aku menyetir sambil sesekali melirik Dinda. Ia memandangi keluar jendela, tapi tangannya menggenggam ujung kerudungnya erat-erat.
Sesampainya di depan rumah mertuaku, kami berhenti sejenak di mobil.
"Kamu mau aku yang bicara dulu?" tanyaku pelan.
Dinda menggeleng. "Aku harus bilang langsung. Aku yang harus menyelesaikannya."
...
Ibunya membuka pintu. Wajahnya datar. Bukan marah, tapi jelas tak menyambut dengan hangat. Tak ada pelukan. Tak ada sapaan manis seperti dulu. Tapi ia mempersilakan kami masuk.
Dinda duduk di kursi ruang tamu, menghadap ibunya yang kini tampak lebih tua dari terakhir kali kulihat. Garis wajahnya lebih dalam, mungkin karena kecewa yang tak pernah ia suarakan.
"Ibu..." Dinda membuka suara, suaranya nyaris bergetar, tapi ia menahannya. "Aku tahu aku sudah mengecewakan Ibu. Dan aku tahu keputusan bertahan ini mungkin tidak masuk akal bagi banyak orang. Tapi ini pilihanku. Dan aku tidak minta Ibu langsung mengerti. Aku cuma ingin Ibu tahu... aku tidak buta. Aku hanya memutuskan untuk melihat lebih dari luka."
Ibunya terdiam lama. Lalu menatapku.
"Kamu sudah tahu kamu menghancurkan anak saya, kan?"