Jam di dinding menunjukkan pukul enam pagi saat Dinda membuka lemari dan menarik keluar kemeja putih yang sudah lama tak ia sentuh. Aku masih duduk di tepi ranjang, menatapnya diam-diam. Gerakannya ragu, tapi tegas. Seperti seseorang yang memutuskan melangkah lagi setelah terlalu lama berhenti.
"Sudah waktunya," katanya pelan tanpa menoleh.
Aku mengangguk. "Kamu yakin?"
Ia menarik napas dalam. "Aku nggak yakin semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, aku nggak bisa terus sembunyi."
Hari itu adalah hari pertama Dinda kembali bekerja di rumah sakit. Setelah semua yang terjadi, ia sempat mengundurkan diri. Bukan hanya karena luka di hatinya, tapi karena ia merasa tak sanggup menghadapi dunia dengan versi dirinya yang hancur. Tapi pagi ini, aku melihatnya mencoba menyusun ulang keberanian dari puing-puing itu.
Saat ia berdiri di depan cermin, mengenakan kerudungnya dengan telaten, aku mendekat dan menyentuh pundaknya.
"Kamu kelihatan cantik," kataku.
Ia menatap pantulan wajahku di cermin. "Kamu kelihatan khawatir."
Aku tersenyum kecil. "Karena aku tahu, kamu bukan cuma berangkat kerja hari ini. Kamu sedang menjemput dirimu sendiri."
Hari-hari berikutnya berjalan seperti menyeimbangkan diri di atas tali yang rapuh. Dinda pulang dalam kondisi lelah, matanya sembab sesekali, tapi ada semacam cahaya kecil yang mulai kembali ke dalam dirinya. Ia mulai bercerita tentang pasien, rekan sejawat, bahkan tentang kantin rumah sakit yang berubah menu.