Sudah dua bulan sejak Dinda kembali bekerja. Dua bulan sejak hidup kami mulai menemukan ritmenya lagi—pelan, tenang, tak selalu bahagia, tapi cukup untuk merasa hidup.
Dulu, aku mengira kebahagiaan datang dalam bentuk kejutan besar: pernyataan cinta, pelukan hangat, perjalanan romantis. Tapi kini, aku tahu, kebahagiaan sering menyelinap di sela-sela yang remeh. Seperti saat Dinda meninggalkanku catatan kecil di kulkas: "Jangan lupa sarapan. Aku sayang kamu, tapi nggak mau kamu jadi pasienku gara-gara maag."
Atau saat aku menjemputnya di rumah sakit dan dia mengeluh tentang rekan sejawat yang cerewet, lalu tertawa sendiri karena menyadari keluhannya tak sepenting itu dibanding apa yang sudah ia lewati.
Kami belajar mencintai hari-hari yang biasa. Karena di situlah letak kesembuhan kami.
...
Suatu malam, saat kami duduk di sofa dengan televisi menyala tanpa benar-benar ditonton, Dinda menyandarkan kepalanya ke bahuku dan berkata, "Kamu tahu? Aku pernah berharap kita bisa kembali ke masa lalu."
Aku mengusap rambutnya. "Tapi kita nggak bisa."
"Iya," katanya pelan. "Dan sekarang aku nggak ingin kembali. Karena kalau kita nggak pernah retak, mungkin aku nggak akan pernah tahu kalau aku bisa bertahan."
Aku menatapnya. "Dan kalau aku nggak pernah kehilanganmu... mungkin aku nggak akan pernah tahu bagaimana caranya benar-benar mencintai."
Ia tersenyum. Senyum yang tidak lagi dipenuhi luka, tapi juga belum sepenuhnya lepas dari bayangannya. Tapi tak apa. Karena cinta kami kini bukan tentang kesempurnaan. Tapi tentang keberanian untuk bertahan dan memperbaiki, setiap hari.
Pada hari Sabtu yang cerah, kami membersihkan gudang bersama. Tumpukan kardus berdebu berisi kenangan—foto-foto lama, hadiah ulang tahun, surat-surat yang pernah kutulis saat kami masih pacaran.
Dinda membuka sebuah kotak kecil dan menemukan jam tangan pria yang pernah ia hadiahkan untukku. "Masih ingat ini?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Waktu itu kamu bilang, supaya aku nggak telat datang ke janji-janji penting."
Ia menatapku sebentar. "Kamu tahu nggak? Jam itu mati di hari kamu nggak pulang."
Aku terdiam. Ada sesuatu yang sesak mengambang di dadaku.