Sudah beberapa bulan sejak aku dan Dinda memutuskan untuk benar-benar memulai kembali. Rumah kami, yang dulu terasa seperti puing, perlahan-lahan mulai menyerupai tempat tinggal. Kami belum sepenuhnya pulih, tapi sudah cukup kuat untuk berdiri tanpa saling menyandarkan luka.
Namun seperti halnya rumah yang pernah retak, selalu ada suara-suara kecil yang muncul di malam hari—nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuatmu terjaga.
Dan suara itu, untuk pertama kalinya, muncul ketika aku menjemput Dinda dari rumah sakit.
Hari itu hujan turun tipis. Aku menunggu di mobil sambil menyetel radio pelan. Dinda muncul dari pintu utama, membawa tas kerja dan wajah lelah. Tapi sebelum ia membuka pintu mobil, ia sempat menoleh dan tersenyum pada seseorang di belakangnya.
Aku melihat seorang pria—seusia kami, tinggi, bersih, dengan rambut sedikit acak dan jas dokter tergantung santai di lengannya. Mereka berbicara singkat. Tak ada sentuhan. Tak ada sikap berlebihan. Tapi ada keakraban yang anehnya membuatku mengerutkan dahi.
"Maaf lama, tadi nunggu presensi akhir," kata Dinda sambil duduk di kursi penumpang.
"Siapa tadi?" tanyaku ringan.
"Oh... dokter baru. Anak rotasi dari Jakarta. Baru seminggu di sini."
"Hm," jawabku pendek.
Dan kami pun melaju pulang.
...
Sejak malam itu, aku mulai memperhatikan hal-hal kecil.
Dinda mulai lebih sering mengecek ponselnya setelah makan malam. Kadang tersenyum sendiri. Kadang hanya mengetik sebentar lalu meletakkannya lagi. Tak ada yang mencurigakan. Tapi juga tak biasa.
"Ada yang lucu?" tanyaku suatu malam.
"Grup kantor. Ramai terus."
Aku mengangguk, mencoba percaya. Tapi benakku tidak diam.
Di meja makan, Dinda kadang bercerita tentang kejadian-kejadian kecil di rumah sakit—pasien-pasien yang cerewet, perawat baru yang ceroboh, atau kesalahan input data.