"Apa kau akan tetap membiarkannya seperti ini, Phillip?" Irina menghampiri Phillip yang sedang terduduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai. Langit malam berselimutkan bintang nampak menyemarakkan sungai itu.
Phillip menoleh sekilas. "Aku tak sanggup kehilangan Arabelle, Irina."
Irina berdecak sebal. "Tapi kau juga tahu, peri hanya bisa mencintai satu kali dalam hidupnya. Apa kau akan membiarkan adikmu kesepian seperti sekarang? Belle menuruti perkataanmu karena ia menyayangimu, tapi kau malah memusnahkan kebahagiaannya? Belle tak sepertimu yang mendapatkan hak istimewa untuk mencintai hati yang lain karena permintaanku kepada dewa."
Phillip bingkas bangun dari duduknya. Ia menghampiri Irina perlahan. "Hatimu mungkin sudah berhenti mencintaiku, Irina. Namun tidak denganku. Kau masih menguasai hatiku. Dan di sini aku yang menderita, bukan dirimu." Phillip lantas berjalan melewati Irina, namun secepat kilat Irina menangkap pergelangan tangannya.
"Apa kau pikir aku juga tidak menderita? Apa kau pikir aku tidak merasakan kesakitan yang kau rasa? Kau tahu alasanku melakukan ini!" Mata gadis itu telah bergenang. Sementara Phillip masih membelakanginya, meski ia tidak menarik tangannya yang masih dipegangi Irina.
Tanpa Irina tahu, airmata jatuh perlahan di pipi Phillip. "Aku tahu. Tapi terkadang, hatiku tidak bisa menahannya. Menahan segala kesakitan ini. Kau juga harus tahu kekhawatiranku, Irina. Hanya mereka berdua yang aku miliki sekarang. Aku tidak bisa kehilangan lagi, cukup dirimu."
Phillip berbalik menghadap Irina, perlahan ia melepaskan pegangan tangan Irina kemudian menghapus airmata yang ternyata telah jatuh di wajah gadis itu. "Bagaimanapun, aku bahagia. Setidaknya, aku masih bisa melihatmu. Karena itu ... aku tidak bisa mengizinkan Belle menemui manusia itu lagi. Bagaimana jika jantungnya kembali membeku? Kau sendiri yang berkata bahwa ia hanya bisa diselamatkan satu kali saja. Kalau itu terjadi lagi, aku takkan bisa bertemu dengannya lagi. Tolong pahami aku." Ia lantas meninggalkan Irina.
Phillip terbang perlahan, menuju atap rumahnya. Di sana ia duduk bersila, matanya menatap lurus ke depan. Sayup-sayup, terdengar suara isakan. Phillip menajamkan telinganya, matanya nampak berkaca-kaca tatkala menyadari bahwa itu adalah isakan Arabelle.
Apakah aku sekejam itu? Aku hanya tidak ingin kehilangan adikku ... apakah aku tidak boleh egois untuk kali ini?
"Setiap malam ia menangis seperti itu, Kak." Suara Giorgio menyapa rungunya.
Phillip menoleh ke belakang, nampak Giorgio berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia terbang mendekati Phillip, kemudian duduk di sebelah lelaki itu.
"Setelah Kakak melarangnya dengan tegas untuk tidak menemui manusia itu, ia selalu menangis dengan sembunyi-sembunyi seperti sekarang. Karena letak kamarku di sebelahnya, aku bisa mendengarnya dengan jelas."
Phillip mengembuskan napas dengan berat. "Apakah aku keterlaluan? Aku hanya tak bisa kehilangannya."
Giorgio merangkul bahu Phillip dan menepuk-nepuknya. "Aku juga tak bisa kehilangan Belle, Kak. Namun kurasa egois bila kita menjauhkan dia dari kebahagiaannya. Kita sama-sama tahu, bahwa ia telah jatuh cinta terlalu dalam kepada manusia itu. Namun, karena ia menyayangi Kakak, ia rela mengalah."
Phillip terdiam sejenak. "Lalu, bagaimana denganmu? Bukankah kau juga menyukai gadis bernama Dyrania itu?"
"Hatiku belum sampai pada tahap cinta, jadi kupikir aku bisa mengubahnya."
"Apa kau yakin? Bagaimana jika suatu saat kau bertemu dengannya lagi? Phillip memandang Giorgio dan tersenyum menggodanya.
Wajah Giorgio bersemu merah. "B-bagaimana bisa kami bertemu kembali?" Ia berdeham untuk menutupi kegugupannya. Entah mengapa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Karena kau akan menemani Belle kembali ke bumi." putusnya. Ia merasa bahwa perkataan Irina dan Giorgio benar adanya. Arabelle sudah dewasa, ia berhak menentukan pilihan hidupnya. Akan berakhir seperti apa, biarlah Tuhan yang menentukan.
***