Bantul, 19 Mei 1982
Malam itu langit tampak cerah, polos tak berawan. Separuh bulan purnama hanya ditemani oleh segelintir bintang-bintang bercahaya redup. Tiupan angin malam telah berhenti menyapa rimbunan pohon-pohon sejak tadi, tetapi hawa dinginnya masih membekas seakan hanya berotasi dalam satu ruang lingkup saja. Anto menarik reseleting jaketnya sampai ke batas leher, lalu menyenderkan kepala ke bantalan kursi malas di teras rumahnya. Ia memandangi bintang-bintang yang sepertinya masih dapat dihitung oleh jari tangan.
Antonius Suprapto adalah seorang pemuda berumur dua puluh tiga tahun yang memiliki postur tubuh atletis dengan tinggi mencapai satu koma delapan meter dan bobot tujuh puluh kilogram. Wajahnya yang berbentuk bulat dan menyerupai kedua belah matanya dimahkotai oleh kulit kepala yang nyaris tak berambut. Untuk beberapa hari terakhir ia tengah menikmati masa liburnya yang berlangsung selama sepekan. Ia benar-benar membutuhkan masa libur ini, mengingat aktivitasnya selama berbulan-bulan lalu amat menguras energi, baik fisik maupun mental.
Tahun ini memasuki tahun ketiga Anto di akademi kepolisian. Dalam dua tahun terakhir ia tinggal di asrama kepolisian yang berlokasi di kota Magelang. Menjadi seorang polisi sama sekali bukan cita-cita masa kecil Anto. Ia tak pernah membayangkan dirinya menggenggam sepucuk senapan asli. Bahkan waktu kecil, ia selalu berperan sebagai penjahat kalau sedang bermain polisi-polisian bersama teman-temannya. Bagi Anto, memerankan tokoh penjahat lebih mudah dibandingkan menjadi polisi. Tidak harus terikat pada aturan-aturan, dan yang pasti bisa bebas melakukan apa saja. Anto pernah bersumpah pada diri sendiri tidak akan menjadi seorang polisi atau bergabung dalam apapun jenis organisasi yang berbau kemiliteran. Namun, kenyataan berbalik melawannya.
Ia berasal dari sebuah keluarga yang berlatar belakang militer. Ayahnya adalah seorang Ajun Komisaris Besar di kepolisian kota Jogjakarta, sementara kakeknya tahun ini baru saja mengakhiri dinas kerjanya sebagai TNI AL bagian administrasi. Jauh ke belakang lagi, Anto sering mendengar ayahnya bercerita bahwa kakek-kakek buyutnya dulu adalah seorang pejuang. Ayahnya selalu menceritakan hal itu dengan rasa bangga. Maka, berlandaskan silsilah keluarga itulah garis hidup Anto mengakar sesuai batangnya.
Sebenarnya cita-cita masa kecil Anto adalah menjadi astronot. Ia ingin bertualang dari satu planet ke planet lain, lalu menelusuri jagad raya. Imajenasi semacam itu telah mengkristal dalam otak Anto semenjak diajak oleh kakeknya mengunjungi planetarium di Jakarta waktu liburan kenaikan kelas, tiga belas tahun silam. Berawal dari sanalah ia mulai gemar mengamati langit. Kadang ia menerawang saat menatap gumpalan awan di siang hari atau taburan kelap-kelip bintang di malam hari. Ia berusaha membayangkan apa yang sebenarnya ada di atas sana. Apakah planet-planet dan titik hitam yang dipelajarinya semasa sekolah dulu benar-benar ada, atau itu semua hanyalah teori-teori yang dikembangkan oleh para ilmuwan untuk mendapatkan sensasi semata? Sekali waktu Anto berpendapat bahwa di atas langit, di luar planet Bumi, hanya ada kegelapan saja atau mungkin satu cahaya menyilaukan yang berasal dari matahari. Tidak ada apapun di atas langit. Tidak ada jagad raya. Tidak ada planet-planet lain. Hanya ada satu planet bernama Bumi yang berotasi mengelilingi matahari. Kalaupun kenyataannya ada hal lain di atas sana, itu sudah tidak penting lagi bagi kehidupan Anto kini. Sudah pasti ia tidak akan pernah menginjakkan kaki di planet lain seperti imajenasi masa kecilnya. Dunia Anto kini hanya sebatas sejumah peraturan yang harus dipatuhi di akademi kepolisian. Dan seluas apapun dunianya nanti di masa mendatang, tetap tidak akan membawa dirinya terbang menelusuri jagad raya.
Anto melipat kedua tangannya ke depan dada, lalu mengangkat kedua bahunya hingga hampir menyentuh batang leher saat merasa ada terpaan angin kencang yang tiba-tiba menyerang sekujur tubuhnya. Ia kemudian mengamati rimbunan pepohonan bergoyang-goyang hingga mengeluarkan suara-suara seakan ingin tumbang, lalu diikuti suara seng-seng rumah berterbangan. Beberapa lampu jalan mulai kelap-kelip seperti ada seseorang yang sedang memainkan tombol-tombol lampu tersebut. Beberapa lampu lainnya bersinar semakin terang dengan tak wajar, lalu tak lama padam seketika.
Anto yakin fenomena alam yang terjadi saat itu merupakan suatu pertanda buruk. Mungkin hujan lebat yang disertai badai topan sebentar lagi akan datang, mungkin juga beginilah tanda-tanda awal tsunami, atau bahkan bencana alam lainnya yang lebih parah. Entahlah. Yang jelas, Anto segera bangkit dari kursi malas. Lalu, masih dengan kedua tangan terlipat di depan dada, ia melangkah menuju pintu gerbang. Di balik pintu besi rumahnya itu ia mendongak spontan saat merasa ada cahaya yang berputar-putar di atas kepalanya. Anto melongo dengan dahi penuh kerutan, tak percaya dan tak yakin apa yang tengah dilihatnya.
Benda itu berbentuk bulat, sebesar dua kali bulan purnama. Tampak seperti sebuah lempengan cakram bila dilihat dari lapisan bawahnya. Warnanya putih kebiru-biruan seperti sebuah benda berpijar karena suhu yang amat tinggi. Lingkar tepinya berkelap-kelip setiap jeda lima detik. Benda misterius itu hanya berputar-putar di atas langit seperti sedang terperangkap dalam suatu kotak transparan dan berusaha keluar. Berselang lima menit saja benda itu mendadak meluncur pergi menjauh ke arah utara cakrawala sambil meninggalkan jurai dengan warna merah muda. Tampak dari kejauhan benda itu menjatuhkan satu titik bercahaya terang yang menyerupai sebuah bintang jatuh. Lalu beberapa detik berikutnya benda ajaib itu kembali bergerak, melikuk-likuk dengan manis membuat huruf “S” yang panjang dari arah utara ke selatan dengan kecepatan yang mengagumkan, dan akhirnya terpencar menjadi tiga bagian kecil lalu lenyap ditelan kegelapan malam.
Anto masih berdiri mematung di tempat yang sama, tak sanggup bereaksi. Ia baru dapat kembali bergerak ketika fenomena alam yang tak wajar itu telah berakhir. Terpaan angin kencang mulai mereda hingga tak berhembus lagi. Gemerisik suara dedaunan yang saling bergesekkan kembali membisu serempak. Lampu-lampu jalan pun sudah kembali bersinar normal. Beberapa di antaranya terlihat sudah tak menyala. Lantas, Anto melangkah bisu masuk ke dalam rumahnya, sementara otaknya tetap berusaha memikirkan penjelasan logis mengenai kejadian yang baru saja dialami.
Gunawan Hamzah adalah seorang warga asli kota Jogjakarta yang berumur dua puluh tujuh tahun. Tinggi badannya seratus enam puluh sentimeter dengan bobot sekitar delapan puluh kilogram. Bahunya lebar dan lengannya besar. Alis matanya hitam tebal sepadan dengan warna rambutnya. Ia bekerja sebagai petugas administrasi di sebuah kantor pemadam kebakaran yang berlokasi di pinggiran kota Jogjakarta. Tiga tahun lalu ia menikah dengan seorang wanita kelahiran Jakarta yang usianya dua tahun lebih muda. Namanya adalah Citra Diningtyas. Istrinya itu seorang wanita yang penampilannya bisa dikatakan biasa-biasa saja. Tinggi badannya kurang dari satu setengah meter dengan postur tubuh agak gemuk. Mereka bertemu karena diperkenalkan oleh saudara sepupu Gunawan yang kebetulan teman akrab Citra semasa kuliah di Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Hubungan percintaan di antara mereka pun mulai terjalin, tanpa ada kejelasan siapa yang lebih dulu melakukan pendekatan. Gunawan menaruh rasa hormat yang amat besar pada Citra karena sifat mandirinya. Di lain pihak, tak jarang Citra membantunya memberikan gagasan-gagasan cermelang saat dirinya tengah dilanda kebuntuan. Alhasil, hanya berselang setahun saja sejak pertemuan mereka, pernikahan pun dilaksanakan.
Kini usia perkawinan mereka sudah melewati tahun ketiga. Namun sayangnya mereka masih belum juga dikaruniai buah dari hasil cintanya itu. Konsultasi demi konsultasi kehamilan sudah sering mereka jalani, tetapi tetap tiada hasil. Mereka juga sudah memeriksakan kesehatan tubuh masing-masing, dan nyatanya tidak ada masalah sama sekali dengan hal tersebut. “Tidak ada penyakit-penyakit dalam tubuh Anda. Sperma Anda dalam kondisi sempurna, begitu pula sel telur Anda.” Kurang-lebih begitulah jawaban yang kerap kali diterima Gunawan dan Citra dari para dokter ahli kandungan. Namun usaha pun masih terus berlanjut. Mereka beralih ke pengobatan tradisional. Seorang pria tua yang oleh warga lokal dinamakan “orang pintar” menyuruh Gunawan untuk memperbanyak mengkonsumsi telur mentah agar sel-sel spermanya semakin kuat, sementara Citra diminta untuk minum secara rutin ramuan jamu yang berasal dari campuran tumbuh-tumbuhan. Hasilnya, selama sebulan penuh mengikuti anjuran “orang pintar” itu, tetap tak ada perubahan apapun.
Para tetangga sekitar memberi mereka anjuran untuk mulai berpikir mengadopsi anak. Menurut orang-orang itu adanya kehadiran bayi kecil dalam rumah bisa menjadi semacam “pancingan” agar Citra terpengaruh untuk hamil. Tentunya itu hanyalah mitos semata yang tak pernah teruji kebenarannya, atau bahkan mungkin hanya sekedar gurauan di sela-sela pertemuan antar warga. Namun tidak bagi Gunawan. Baginya usaha apapun harus dilakukan agar dapat memiliki keturunan. Akhirnya, di penghujung bulan Mei tahun 1982 Gunawan merealisasikan hal tersebut. Berawal dari obrolan santai di saat jeda makan siang, ia diberitahukan nama seorang petugas sosial yang mengurusi masalah mengenai pengasuhan anak. Namanya Ibu Dibyo.
Ibu Dibyo, yang bernama lengkap Dibyo Wulandari, adalah seorang janda tua yang umurnya lima puluh tahunan. Ia merupakan pendiri sebuah organisasi sosial yang bernama Tunas Karya. Semenjak suaminya meninggal dua puluh tahun lalu, wanita itu mendedikasikan seluruh hidupnya pada organisasi tersebut. Ia memiliki enam orang staf yang secara sukarela membantu mengurusi anak-anak asuhnya. Jumlah anak asuhnya hingga kini sudah mencapai lima puluhan, yang sebagian di antaranya adalah anak-anak remaja.
Kegiatan sosial yang dilakukan Ibu Dibyo selama tiga puluh tahun itu bermula ketika ada seorang pria memperkenalkan padanya dua orang anak yang membutuhkan bantuan. Pria itu mengatakan bahwa kedua anak itu diterlantarkan oleh orang tuanya. Lantas, lantaran iba sekaligus merasa kesepian hidup seorang diri di rumah yang kosong, Ibu Dibyo menampung kedua anak itu. Setahun kemudian ia mendapatkan titipan bayi mungil dari seorang wanita yang katanya tak sanggup membesarkan anak itu. Ibu Dibyo pun menerimanya dengan lapang dada. Pikirnya, lebih baik anak itu dibesarkan olehnya daripada hidup terlantar di jalanan. Tahun-tahun berikutnya kejadian serupa terus berlanjut, tanpa ada kejelasan siapa gerangan yang merekomendasikan rumahnya sebagai tempat penitipan anak.
Seiring berjalannya waktu kapasitas rumah pun mulai terasa sesak karena dipenuhi oleh sejumlah anak kecil. Maka, Ibu Dibyo memutuskan menjual rumahnya beserta sebagian aset berharga, termasuk barang-barang mendiang suami, lalu pindah ke suatu daerah terpencil di kota Bantul. Di sana, ia membeli sebuah bangunan besar dengan sebidang tanah lapang yang harganya lumayan murah. Dan kehidupan Ibu Dibyo pun bersama anak-anak asuhnya terus berlanjut di kota tersebut.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari yang selalu meningkat Ibu Dibyo tidak bisa terus mengharapkan warisan mendiang suami ataupun dana simpanannya di bank. Ia akhirnya menjadi guru les privat bahasa inggris dengan bayaran yang sangat murah. Secara bertahap, tidak sampai dua bulan menetap di rumah barunya, Ibu Dibyo telah disegani oleh warga setempat. Mereka menaruh hormat padanya selain karena membesarkan sejumlah anak dengan tanpa pamrih, juga karena tidak pernah mau mengambil untung banyak dari kegiatan les privat yang diberikannya.
Kadang, para pemuda karang taruna datang ke rumahnya untuk bermain bersama anak-anak asuhnya atau memberikan bimbingan belajar berhitung. Dan begitulah selanjutnya sampai pada akhirnya setahun kemudian ada seorang pemuda karang taruna memberikan Ibu Dibyo usulan agar menjadikan tempat tinggalnya sebagai tempat pengasuhan anak secara resmi. Alhasil, tak sampai sebulan, berkat dukungan materi dan moral dari para penduduk setempat, hal tersebut langsung terlaksana. Bahkan ijin pendirian organisasi Tunas Karya dengan cepat disetujui oleh pemerintah kota Bantul.
Proses pengembangan pun terjadi. Ibu Dibyo mulai memperluas cakupan kegiatan sosialnya. Ia menarik anak-anak jalanan dari segala pelosok kota Bantul sampai Jogjakarta. Anak-anak itu dikumpulkan untuk dibina, diberi kehidupan yang layak, dan seiring berjalannya waktu diajarkan keterampilan-keterampilan yang memungkinkan mereka untuk bisa menghidupi kehidupannya di masa mendatang. Ibu Dibyo juga membuka kesempatan bagi para warga sekitar yang ingin mengadopsi anak asuhnya. Namun tentunya ia sangat mencermati dalam proses seleksi pemberian ijin bagi mereka yang ingin menjadi orang tua asuh. Dengan demikian ia bisa menyerahkan anak-anak asuhnya ke rumah-rumah yang tepat, bukan hanya sekedar menaruh salah seorang anak asuhnya bagitu saja lalu mengharapkan mendapat perlakuan yang terbaik.
Ibu Dibyo tak pernah sekalipun mempertimbangkan baik-buruknya dalam menerima semua anak asuhnya. Anak-anak itu sama seperti anak-anak pada umumnya, kecuali nasib yang berbeda atau mungkin perlakuan buruk yang mereka terima dari orang lain. Bagi Ibu Dibyo, imbalan yang selama ini diterima sebagai orang tua asuh adalah melihat anak-anak asuhnya tumbuh besar dengan layak dan menjadi sosok pribadi yang dia harapkan.