Jogjakarta, 20 Mei 2002
Senin
Gadis remaja itu duduk kembali di balik meja panjang dalam sebuah warung makan setelah sebelumnya membereskan sisa-sisa makanan di meja lain. Ia menyenderkan lengan kanannya di tepian meja lalu tetap berusaha fokus mendengarkan keluhan temannya kendati sudah mulai mengantuk. Nama gadis itu adalah Anna Lisa Jatu. Umurnya sembilan belas tahun. Tubuhnya ramping dengan bobot tidak sampai empat puluh lima kilogram dan tingginya sekitar satu koma empat meter. Rambutnya bersemir hitam sepanjang bahu dan hampir selalu terurai. Bentuk wajahnya oval, kontras dengan bentuk tubuhnya.
Lisa, begitulah nama panggilannya, adalah anak semata wayang yang dimiliki pasangan Sudjoko-Enny. Ia tinggal di sebuah rumah yang berperan ganda sebagai warung makan di daerah Tambak Bayan. Ayahnya, Sudjoko, memutuskan untuk merubah fungsi utama rumah lima tahun lalu dengan alasan untuk bisnis di hari tua saat sudah pensiun. Kini, pria berumur empat puluh tahunan itu masih bekerja sebagai pengajar sekolah dasar di pusat kota Jogjakarta. Keuntungan bersih per bulan yang didapat dari bisnis warung makan memang tidak bisa dibandingkan dengan penghasilan tetapnya sebagai guru. Namun menurut Sudjoko itu tidak penting. Yang terpenting baginya adalah tetap memiliki penghasilan saat dirinya sudah pensiun nanti, sekaligus agar isterinya mempunyai kegiatan selama di rumah. Tentunya memiliki bisnis keluarga juga berdampak pada Lisa. Walaupun warung makan yang bernama “Kasih Ibu” itu tidak beroperasi selama dua puluh empat jam, tetap saja ia harus berganti giliran jaga dengan ibunya.
Lisa akhirnya menguap, entah karena sudah terlampau mengantuk atau teramat bosan mendengarkan keluhan Rika yang masih berkutat di topik yang sama selama dua jam terakhir. Ia melirik jam dinding yang terpancang di atas kompor di samping pintu masuk menuju ruangan utama rumah. Saat itu pukul setengah sepuluh malam. Lantas, ia berpikir kapan semua orang yang ada di ruangan itu pulang ke rumahnya masing-masing atau setidaknya pergi dari sana. Warung makan Kasih Ibu memang tidak membuat peraturan tertulis yang menjelaskan bahwa pukul sekian warung harus tutup. Selama lima tahun berdiri, warung tersebut selalu mengakhiri masa operasinya sebelum pukul sebelas malam. Namun kenyataannya, saat itu di ruangan yang dulunya berfungsi sebagai garasi mobil masih ada delapan orang, termasuk Rika. Dan sepertinya tak satupun dari mereka yang memberikan tanda-tanda akan keluar dari sana.
Lisa mulai memperhatikan para pengunjung warungnya satu per satu. Duduk di sebelahnya tentunya ada Rika. Gadis yang bernama lengkap Erika Tresnaputeri itu berbadan bongsor dan tingginya hampir menyamai tinggi pria dewasa pada umumnya. Kulit tubuhnya sawo matang dengan bulu-bulu halus menyisiri sepanjang kedua lengannya. Lisa mulai mengenal gadis itu saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, dan semenjak itu hubungan pertemanan di antara mereka kian mengerat. Sifat dari Rika yang paling Lisa suka adalah tidak pernah bisa berhenti bicara. Gadis itu selalu punya saja cerita untuk dibahas, mulai dari curahan isi hati sampai gosip-gosip panas yang terbaru. Secara pribadi, Lisa sangat membutuhkan sosok teman seperti Rika yang super aktif, mengingat sadar betul dirinya tidak begitu pandai bergaul. Di lain pihak, Rika senang menghabiskan waktu bersama Lisa karena menurutnya Lisa adalah tipikal seorang pendengar yang baik dan bisa selalu diandalkan untuk menyimpan rahasia. Atas dasar semua itulah, ditambah lokasi tempat tinggal yang berdekatan, jalinan persahabatan di antara mereka berjalan mulus hingga kini.
Lisa melirik ke meja di sebelah. Di sana ada tiga orang pemuda berumur sekitar dua puluh lima tahunan sedang membahas sesuatu yang sepertinya bersifat rahasia. Tampak di mata Lisa seorang dari mereka sedang memperlihatkan sesuatu dari dalam tas pada dua orang temannya. Tidak jelas apa yang dipamerkan oleh pria itu karena seluruh badannya menutupi benda yang dipegang. Dan Lisa pun juga memang tak mau ambil peduli. Ia melanjutkan menyisiri ruangan ke arah meja-meja di seberang tempat duduknya. Di sana, dua pria yang sepantaran dengannya tampak sedang asyik berbincang-bincang sambil melahap hidangan nasi goreng. Lalu, di meja panjang di sebelahnya ada dua pria yang duduknya berjauhan seperti baru saja selesai cekcok. Pria yang satu sudah agak tua. Umurnya mungkin sepantaran dengan ayahnya. Dia sedang menekan tombol-tombol handphone sambil menutul-nutulkan bara api rokok ke lapisan piring yang sudah ternodai oleh ampas rokok. Sedangkan pria yang satu lagi sudah tak asing bagi Lisa. Dia juga tinggal di daerah Tambak Bayan, hanya terpaut beberapa gang saja. Namanya Setiadji Asmoro, biasa dipanggil Adji.
Hampir setiap hari, selama setahun terakhir, anak muda itu tidak pernah absen mengunjungi warung makannya, padahal masih banyak warung makan sejenis lainnya yang justru berada lebih dekat dari lokasi tempat tinggal dia. Kadang dalam sehari dia datang dua kali, bahkan pernah sampai lima kali. Tidak ada yang tahu apa alasannya. Setiap kali datang, ia selalu hanya memesan segelas teh manis dingin saja atau sesekali ada tambahan mie goreng. Secara fisik, Adji tampak seperti anak-anak muda pada umumnya. Pada dasarnya dia memang pria normal yang berumur dua puluh tahun. Bentuk tubuhnya atletis dengan tinggi mencapai satu koma tujuh meter. Rambutnya terpangkas pendek rapi bersemir hitam agak kecokelatan, membingkai bentuk bulat wajahnya. Sorot matanya tajam dan tegas, tapi bisa langsung layu seketika kalau sedang berbicara dengan orang lain. Adji memang sifatnya pendiam. Dia bicara hanya kalau ditanya saja. Itupun sangat terbatas sekali, seakan takut kata-kata yang terucap akan menguak semua rahasianya. Entah rahasia apa yang tersimpan dalam sosok seorang Adji. Begitulah yang ada dalam pikiran Lisa setiap kali melihat Adji. Entah bagaimana pendapat orang lain. Yang jelas, menurutnya Adji itu ‘aneh’.
Kesan aneh yang melekat dalam diri Adji belum muncul dalam pandangan Lisa saat pertama kali melihatnya setahun lalu. Waktu itu mereka sempat sekelas untuk mata kuliah administrasi umum pada semester perdana kuliah Lisa di UPB. Pendiam adalah kesan awal Lisa pada Adji karena dia hampir tak pernah berinteraksi dengan orang lain di dalam kelas. Lalu secepat kilat, hanya dalam hitungan minggu saja, kesan ‘pria pendiam’ itu langsung berubah menjadi ‘pria aneh’ saat Lisa menyadari bahwa Adji tidak memiliki seorang pun teman di kampus. Entah apakah semua orang di kampus tidak ada yang cocok dengan sifat pasifnya, atau memang Adji sendirilah yang entah kenapa sengaja membatasi diri dengan orang lain. Apapun alasannya, yang jelas Adji selalu seorang diri, kapan saja, dimana saja. Masalah apa yang sedang dihadapinya? Apa yang disembunyikannya? Kenapa dia tidak pernah tertawa atau setidaknya tersenyum sedikit saja? Ada apa dibalik semua keanehan dia? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang kerap kali melintas dalam benak Lisa ketika melihat Adji sedang sendirian di kampus.
Lisa mengerutkan dahi, seakan berusaha menerobos pintu pikiran Adji yang saat itu hanya duduk menatapi isi gelas tehnya yang nyaris kosong. Tetapi ia langsung teralihkan ketika merasa bahu kirinya digoyang-goyang.
“Jadi gimana dong, Lis? Aku harus gimana?” tanya Rika dengan nada putus asa sambil terus menggoyang-goyang bahu temannya itu.
Lisa memalingkan pandangannya ke Rika, lalu secepat mungkin fokus kembali ke permasalahan yang pastinya masih sama. “Em.....ya seperti yang kubilang tadi. Kalau kamu memang benar-benar suka sama dia, tidak ada salahnya memulai pendekatan lebih dulu.” Ia mengangkat kedua bahunya sampai hampir sejajar dagu. “Kalau tidak begitu dia tidak akan pernah tahu bagaimana perasaanmu.”
“Mulai lebih dulu? Yang benar saja Lis?”
“Sudah tidak jaman lagi Rik main gengsi-gengsian. Kalau memang suka, ya tunjukkan. Harus berani ambil resiko.”
“Sebenarnya kamu sedang membahas masalahmu sendiri ya?” sindir Rika.
“Maksudmu?”
“Ya.....kalau suka, tunjukkan. Harus berani ambil resiko,” sindir Rika lagi dengan nada dibuat-buat, mengulangi perkataan Lisa. “Tidak seperti penggemar setiamu itu.” Ia kemudian menarik pandangan Lisa untuk melirik Adji. “Iya, kan?”
Lisa ikut melirik Adji, tapi langsung berpaling ke arah lain. “Aku tak mengerti apa maksudmu Rik.”
“Sudahlah, Lis. Orang buta pun pasti bisa lihat kalau Adji suka sama kamu.”
“Pelankan suaramu. Asal bicara saja,” gerutu Lisa.
“Asal bicara? Itu kenyataan.” Masih sesekali melirik Adji, Rika terus bicara dengan mengecilkan volumenya, “Buat apa setiap hari dia datang kesini? Kalau buat minum teh saja, memangnya di warung dekat rumahnya tidak ada yang jual?”
“Karena teh buatanku tidak ada duanya,” canda Lisa berbisik.
“Bukan tehnya, tapi orangnya,” balas Rika mengolok-olok. “Tuh lihat, sekarang dia sedang melihatmu lagi. Dia itu benar-benar terobsesi denganmu Lis. Kapan kamu mau sadar?”
Lisa menunduk, lalu perlahan-lahan melirik Adji. Dan Adji pun langsung menunduk kembali menatap gelas minumannya. “Dia itu sangat aneh, Rik,” bisiknya dengan volume yang semakin kecil.
“Aneh karena setiap hari datang kesini dan cuma memesan teh saja? Itu bukan aneh namanya Lis. Itu obsesi.”
“Ya, terobsesi dengan teh buatanku,” canda Lisa lagi sambil tertawa geli.
Rika ikut tertawa. “Iya. Obsesi yang aneh.”
Masih menyisakan senyuman kecil, Lisa berbisik, “Kamu pernah perhatikan dia kalau di kampus Rik? Dia itu selalu sendirian. Tidak punya teman. Dan itu sangat aneh. Semua orang butuh sosialisasi, atau setidaknya ngobrol.”
“Wah.....ada yang ikut terobsesi nih,” sindir Rika yang masih terus tertawa. “Tidak puas lihat di sini sampai-sampai di kampus juga terus dipantau.”
Lisa mendorong lemah bahu temannya itu. “Bukan begitu maksudku Rik.”
“Sudahlah Lis, kenapa sih harus bohong sama aku? Kamu mulai suka sama dia ya?”
Lisa memutar badannya, lalu sambil menerawang menatap dinding, ia berkata, “Aku cuma penasaran saja.”
“Kalau penasaran, solusinya cuma satu Lis.” Rika berdiri. Lalu sambil melirik Adji, ia membungkuk dan berbisik pada Lisa, “Tanyakan saja padanya.” Ia tertawa kecil, kemudian bergerak melangkah menuju tempat cucian piring.
Lisa tertegun, masih menatap lurus ke dinding tanpa corak dihadapannya, seolah-olah di sana ada bahan bacaan untuk dilihat. Sempat terbesit dalam benaknya untuk mengikuti anjuran Rika. Namun secepat kilat batinnya menjawab, Apa gunanya? Buat apa aku mengganggu orang yang ingin sendirian cuma karena penasaran saja? Lagipula dia pengunjung tetap disini. Nanti dia malah jadi tersinggung, tidak mau datang lagi. Lisa menguap lebar, lalu menunduk menatap jari-jari kakinya. Tak lama, ia memejamkan mata sambil mencuri dengar pembicaraan tiga pria di meja sebelahnya.
“Jangan dipegang!” tegas seorang pria berbisik pada temannya.
“Sebentar. Gue cuma mau ngeliat dari dekat,” jawab pria yang lain.
“Itu ada isinya?” Suara orang ketiga bertanya.
“Iya. Sudah sini, masukin lagi.”