21 Mei 2002
Selasa
“Hari yang baru,” kata Lisa berusaha memberikan semangat pada diri sendiri beberapa saat setelah matanya terbuka. Ia meregangkan otot-otot bahu di atas ranjang lalu bangkit dan melangkah mendekati lemari pakaian. Sudah pasti ia akan mengenakan kemeja hari itu karena begitulah tata-tertib yang diberlakukan di kampusnya, yang tentu saja terasa menyebalkan bagi para mahasiswa. Peraturan yang tidak masuk akal. Seperti jaman-jaman SMA saja, gerutu batin Lisa saat menarik keluar sepotong kemeja polos dan rok dari gantungan lemari.
Ia kemudian melemparkan kedua gantungan baju itu ke ranjang sambil berjalan keluar menuju kamar mandi. Di bawah pancuran, ia membiarkan dinginnya air merayapi sekujur tubuhnya. Kedua matanya terpejam, membayangkan suasana alam bebas yang sejuk. Suasana yang segar, tenang dan damai. Ia sangat membutuhkan suasana semacam itu.
Ia bergidik saat mulai merasa kedinginan. Mungkin sudah terlalu lama ia berada di bawah pancuran. Lantas, ia segera keluar setelah membasuh badannya dengan selembar handuk tebal.
Di dalam kamar, dengan tubuh yang masih terliliti kain handuk, ia duduk dihadapan cermin kaca meja rias. Diamati kulit wajahnya yang kini berwarna putih pucat akibat terlalu lama terbasuh air dingin. Lalu tampak setitik jerawat di atas pelipis kirinya. Ini tidak ada kemarin, pikir Lisa seraya meraba bintik merah itu. Sebetulnya hal itu agak melegakan baginya. Bintik kecil itu membuatnya merasa lebih muda.
Ia membungkuk, menarik keluar timbangan yang ada di bawah meja rias dan menginjaknya. Astaga! kejutnya saat mengamati jarum di sana menunjukkan bahwa bobotnya naik satu setengah kilogram dibanding kemarin. Gelombang kepanikan lalu menyerbunya. Ia kehilangan keseimbangan, terjatuh dari timbangan tetapi berhasil menahan tubuhnya di pinggiran meja rias.
Ia duduk kembali menatap cermin kaca. Baru umur sembilan belas tahun aku sudah mengalami krisis seperti ini? pikirnya bertanya-tanya sambil tersenyum sendiri.
Terdengar suara dua pria yang tertawa terbahak-bahak di luar kamarnya, seolah ikut menertawakan bobotnya yang naik satu setengah kilogram. “Masih pagi sudah ramai,” gerutu Lisa mengomentari tamu warungnya itu.
Ia berdiri, menjangkau pakaian di atas ranjang, kemudian menanggalkan lilitan handuk di tubuhnya. Ia melirik cermin meja rias di samping kirinya, sekedar memastikan bahwa naik satu setengah kilogram tidak akan membuat perubahan di seputar lingkar pinggangnya. Namun betapa terkejutnya Lisa ketika melihat bayangan tubuhnya dalam cermin kaca itu. Di sekitar pinggang kirinya ada cap telapak tangan berwarna putih yang entah bagaimana caranya bisa sampai ada di sana.
Lisa menunduk, memastikan apa yang dilihat di cermin itu bukan ilusi. Dan memang benar. Ada telapak tangan milik seseorang membekas di pinggul kirinya. Gelombang kepanikan menyerbunya lagi. Kali ini dalam kapasitas yang jauh lebih besar. Siapa yang melakukan ini! kata batin Lisa berteriak panik.
Ia mengosok-gosok, menggaruk-garuk bercak itu dengan membabi buta. Ia juga sempat membasahi dengan air liurnya. Tetapi tidak berhasil. Justru malah kulit pinggangnya yang jadi lecet. Ia akhirnya menyerah, dan duduk lemas di kursi meja rias sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Apa yang terjadi padaku?” keluhnya berkata. Sejumlah pertanyaan yang serempak menjejali isi kepalanya terkumpul menjadi satu dan mengarah ke satu nama. Adji.
“Aku harus bicara dengannya.”
Sebuah lagu berirama super keras tiba-tiba menggelegar. Gebukan kasar stik drum dan lengkingan melodi gitar sangat kental mendominasi lagu tersebut. Cukup keras dan semakin liar. Adji tahu itu adalah suara alarm radionya.
Ia jangkaukan tangannya ke samping, berusaha menemukan remote radio yang selalu ada dekat bantal tidurnya. Satu tombol berhasil ditekan, dan keheningan kembali menyapa. Namun suara gebukan drum seolah masih menempel di lapisan tipis gendang telinganya. Adji menutup gendang telinganya dengan kedua tangan sambil berguling-guling di atas ranjang. Suara-suara dalam imajenasinya itu seperti sudah menembus ke pembuluh bagian dalam otaknya.
Akhirnya semua kegaduhan itu berhenti, seolah ada uluran tangan raksasa yang menyumbat saluran pendengarannya. Kini, melalui celah-celah jemari ia mendengar suara kicauan burung berikut dedaunan yang saling bergesekkan karena tersapa angin, suara orang yang sedang bercakap-cakap, suara mesin mobil di jalanan depan rumahnya, dan suara musik dari sebelah rumahnya. Lantas, perlahan-lahan matanya terbuka. Dalam posisi terlentang, Adji menatap langit-langit ruangan yang tampak samar-samar yang kemudian menjadi jelas.
“Apa yang terjadi padaku?” Ia bahkan nyaris tak mendengar suaranya sendiri.
Adji duduk di tepian ranjang. Seluruh energinya masih belum menyatu. Ia membungkuk, lalu mengusap-usap dahinya. Aroma tidak sedap mulai merayapi lubang hidungnya. Ia jadi teringat semalam tak sempat berganti pakaian.
“Ada apa denganku? Kenapa aku seperti ini?” keluhnya lagi sambil bergeleng-geleng.
Samar-samar terdengar suara orang bercakap-cakap di luar kamarnya. Adji penasaran siapa yang bertamu sepagi ini. Ia mengangkat kepala dan menatap jam yang terpancang di atas pintu kamar. Saat itu sudah hampir pukul sebelas siang. “Astaga! Selama itu aku tidur!” kejutnya.
Adji bangkit dari ranjang lalu berjalan gontai mendekati pintu kamar. Ia memutuskan tidak perlu buru-buru datang ke kampus karena mata kuliahnya sudah dimulai setengah jam lalu. Ia berhenti di depan pintu dan menghadap ke samping, menatap pantulan wajahnya yang terlukis pada cermin di sana. Ia mematut diri cukup lama dihadapan cermin kaca itu, mengamati baik-baik permukaan wajahnya. Kulit wajahnya tampak kusam. Pipinya cekung. Bagian bawah kedua matanya berkantung, seperti sebuah koper yang kelebihan muatan. Tapi, Aku baik-baik saja, yakinnya berkata pada sosok bayangannya sendiri.
Ia menekan gagang pintu kamar, lalu mengintip keluar melalui celah pintu. Citra, ibunya, mendengar suara itu dan spontan menoleh ke belakang. “Adji, kesini sebentar,” panggilnya pada anak itu.
Adji yang sudah terlanjur ketahuan terpaksa keluar dan melangkah mendekati.
“Ji, ini Pak Anto. Dia dari kepolisian,” kata Citra memperkenalkan sosok pria yang duduk dihadapannya, seolah seragam dinas yang dikenakan orang itu belum menjelaskannya. “Katanya ada yang mau dia tanyakan padamu.”
Sejumlah ketakutan segera menyerbu Adji habis-habisan. Bagaimana tidak? Untuk apa seorang polisi datang ke rumahnya dan ingin bicara dengannya kalau bukan untuk urusan penting? Firasat Adji mengatakan kedatangan pria itu pasti ada kaitannya dengan kejadian semalam.
Ia berdiri di samping ibunya, ragu untuk duduk, atau mungkin sebenarnya sedang bersiap-siap lari kalau-kalau petugas itu langsung menangkapnya.
“Tidak usah takut. Santai saja,” bujuk Anto memerhatikan kegelisahan Adji. “Saya hanya ingin menanyakan beberapa hal.”
Tentunya bujukan semacam itu tak manjur bagi Adji. Detak jantungnya semakin bergejolak. Citra memahami ketakutan anaknya, dan langsung menarik lemah lengan Adji agar duduk di sampingnya. “Ji, semalam kamu ke warungnya Bu Enny, kan?”
Perlahan-lahan Adji duduk dan berangguk. Ia menampilkan ekspresi bingung sekaligus linglung.
“Kamu masih di sana pas ada kejadian penembakan itu?” lanjut Citra bicara pada anaknya.
Adji mengerutkan dahi, sedikit bergeleng. Kemudian ia melirik petugas polisi dihadapannya. Pria itu menatapnya begitu tajam, seolah-olah tengah berusaha menerobos pintu pikirannya. Perlahan-lahan Adji mengangguk, dan suaranya bergetar saat berkata, “Aku memang dengar ada suara yang seperti tembakan. Tapi em....tidak yakin em...” Ia melirik si petugas polisi lagi. Pria itu terus mengamatinya, tampak memerhatikan dengan cermat setiap gerak tubuhnya. “Memangnya ada apa sih Bu?”
Anto bersandar, memposisikan dirinya senyaman mungkin agar kegelisahan Adji ikut mengendur. “Saya sedang melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang hal ini. Jadi informasi sekecil apapun sangat berguna.”
“Em....tapi saya rasa saya tidak bisa memberikan informasi yang berarti, Pak.”
“Itu belum pasti.” Anto mengendurkan kerah kemejanya. “Coba ceritakan pada saya apa yang kamu ingat tentang kejadian semalam?”
“Em....apa ya?” Adji berpura-pura berpikir. “Ya seperti yang saya bilang tadi Pak. Saya memang dengar suara. Suaranya sangat keras. Tapi saya kira itu cuma suara ban pecah.”
Anto menatap fokus mata Adji, mencari celah kebohongan dari pernyataan tersebut. Ia terus memerhatikan gerak tubuh Adji, mengamati kedua tangannya yang saling meremas dan kaki kanannya yang selalu bergoyang saat bicara. “Lalu?” katanya memancing seolah tahu anak ini masih menyimpan informasi-informasi penting.
“Ya saya langsung cepat-cepat keluar, Pak.”
Anto mengingat catatan kecil yang ditulis anak buahnya semalam. Suara tembakan sekitar pukul setengah sepuluh. Tidak ada korban. Ada delapan orang pengunjung warung. Tiga langsung kabur setelah ada suara tembakan. Dua mengejar. Satu lari sempoyongan. Ia langsung membandingkan hasil interogasi tersebut dengan apa yang dikatakan Adji. Kinerja otaknya pun bereaksi cepat. Tiga orang yang langsung kabur adalah tersangka. Salah satunya sudah tertangkap, dan nanti akan diinterogasi lebih lanjut di kantor. Dua orang yang mengejar tersangka sudah diinterogasi semalam. Masih tersisa tiga orang saksi. Satu adalah pria tua yang tidak meninggalkan lokasi saat kejadian. Satu lagi adalah gadis yang masih syok. Dan....seharusnya anak inilah yang lari sempoyongan. Begitulah asumsi Anto.
Ia masih merayapi setiap jengkal tubuh Adji dengan matanya. Namun tidak ditemukan goresan apapun di tubuh anak itu. “Apakah ada orang lain yang ikut lari bersamamu waktu itu?” tanya Anto lagi.
Adji mengerutkan dahi, mencoba menduga kemana arah pembicaraan berlanjut. “Em....mungkin. Tapi em....saya tidak tahu siapa,” dalihnya. “Yang saya ingat saya langsung pulang karena di luar tidak ada apa-apa.”
Anto berangguk seakan puas dengan jawaban transparan itu. “Sebelum meninggalkan warung, apa kamu sempat melakukan kontak fisik dengan seseorang yang ada di sana?”
“Maksudnya apa, Pak?” sambar Citra tiba-tiba, spontan melindungi anaknya yang seperti dipojokkan. “Apa Bapak sedang menjadikan anak saya ini sebagai tersangka?”
Anto membentangkan telapak tangan kanannya ke depan. “Oh bukan, bukan. Kami sudah menangkap tersangkanya. Sekarang saya hanya sedang mengumpulkan informasi saja, untuk dokumen tambahan.”
“Informasi apa lagi yang diperlukan kalau tersangkanya sudah tertangkap?” desak Citra.
“Begini Bu. Kami mengumpulkan semua versi cerita para saksi mata supaya nanti bisa dibandingkan dengan pengakuan tersangka,” dalih Anto.
Citra mengangguk-angguk. Emosinya kembali stabil.
“Saya ralat pertanyaan saya,” kata Anto bicara pada Adji. “Apakah kamu sempat melakukan kontak apapun selama di warung semalam?”
Kerutan dahi Adji bertambah banyak. Ia semakin bingung. Ia mengira situasi semacam ini hanya ada di film-film saja, dimana seorang polisi melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang memusingkan dan penuh jebakan. “Kontak seperti apa maksud Bapak?”
“Kontak apa saja. Mungkin kamu sempat bicara dengan seseorang di sana, atau... ya....kontak apa saja.”
Adji bergeleng. Sedikit ragu. “Saya datang sendirian ke sana, dan tidak ada yang saya kenal.”
Anto masih konstan dengan sikap tenangnya, kendati mulai menaruh curiga. “Tidak kenal dengan siapa-siapa? Tidak juga kenal dengan gadis yang menjaga warung?”
“O....maksudnya Lisa? Saya memang kenal dengannya, tapi cuma sebatas nama saja,” kata Adji mengoreksi. “Saya bahkan hampir tidak pernah bicara dengannya.”
“Jadi semalam kamu tidak sempat melakukan kontak apapun dengan Lisa?”
Sekali lagi Adji bergeleng, penuh keraguan. Raut wajahnya memancarkan kecemasan. “Memangnya dia kenapa, Pak? Apa yang terjadi padanya?” Ia khawatir apa yang dilakukannya semalam memberi dampak buruk pada Lisa.
“Oh, tidak apa-apa. Dia tidak kenapa-kenapa. Setidaknya itulah yang saya lihat semalam, tidak tahu bagaimana kondisinya sebelum saya datang.” Anto langsung terdiam, mengilas balik interogasi singkatnya semalam dengan Lisa. Gadis itu mengatakan bahwa Adji sempat menumpahkan sambal ke bajunya; baju yang katanya langsung dicuci dan tidak pernah terlihat wujudnya. Sementara kini Adji mengatakan hal yang berbeda. Anto tertegun, merasakan ganjilan, merasa yakin ada salah satu pihak yang memberikan kesaksian palsu. Dan ia harus mengetahuinya.
Adji melirik arloji di pergelangan si petugas polisi. Aku harus tahu keadaan Lisa sekarang, tegas batinnya berkata. “Pak, em....saya harus cepat-cepat berangkat kuliah. Jadi kalau tidak ada lagi yang mau Bapak tanyakan....”
“Oh, iya, silakan, silakan. Saya juga sudah selesai,” sahut Anto seraya mencondongkan badannya ke depan.
Cepat-cepat Adji bangkit dari kursinya sebelum pria itu berubah pikiran. Anto pun ikut bangkit berdiri seraya berkata pada Citra, “Terima kasih untuk waktunya, Bu.”
“Itu saja sudah cukup, Pak?” kata Citra basa-basi sambil ikut berdiri. “Apa informasi yang diberikan anak saya cukup berguna?”