Beruntung sekali belum ada guru yang masuk ke kelas, padahal bel berbunyi sudah hampir sepuluh menit lalu. Mata pelajaran pertama adalah Matematika, tidak seperti biasanya Bu Dewi terlambat. Padahal dia biasanya on time jika mengajar. Beberapa siswa laki-laki terlihat asyik duduk di atas meja sambil cekikikan.
Aku melangkah mendekati bangku di mana biasa duduk dengan Riri, tapi sepertinya dia tidak masuk hari ini. Di belakangnya adalah bangku Cindy dan Camelia. Ke mana mereka belum tiba di kelas? Apakah dihukum oleh Pak Ronald?
Cindy dan Camelia masuk kelas dengan menyisakan keringat di dahi. Panjang umur mereka, baru saja aku memikirkannya.
“Apek banget hari ini, baru pertama kali telat datang upacara langsung di-bending seratus kali sama Pak Ronald,” gusar Cindy.
“Pak Ronald menghukumnya enggak lihat-lihat siapa ya, Cin. Masa Inces kayak kita di-bending juga,” celetuk Camelia menimpali yang lalu disambut tertawa Cindy.
Mereka melewatiku menuju ke bangku mereka lalu meletakkan tas dan menanggalkan jaket putih ikon Geng Awesome.
“Eh, ada Anak Koruptor. Ngapain lu duduk di sini?” Dadaku berdegup keras mendengar kalimat yang diucapkan Camelia, pasti kalimat itu ditunjukan untukku.
“Eh iya, ada yang tiba-tiba jatuh miskin ya, Cin.” Kalimat itu disambut gelak tawa sahabatnya.
“Bisa jadi jablay* Bundanya entar,” timpal Camelia.
Shit, aku tidak bisa menahan lagi pedasnya kalimat mereka, tidak bisa lagi pura-pura tidak mendengarnya. Aku bangkit menggebrak meja dengan keras sekali, seketika teman-teman sekelas memandang ke arah dari mana suara berasal.
“Maksud lu apa?” bentakku.
“Wow, Anak Koruptor ngamuk, chill out,” ujar Camelia seraya tersenyum sinis.
“Maksud lu apa ngomong Bunda jadi jablay?” Aku mengarahkan telunjuk ke arah Camelia.
“Gue enggak bilang begitu.” Camelia gelagapan, mungkin dia tidak menyangka diserang seperti itu.
“Lu kira gue budek!” Suaraku makin meninggi.
Dinda menghampiri dan mengusap-usap bahuku, dia berusaha meredakan emosiku yang meletup-letup.
“Sudah, Ray. Enggak usah diperpanjang,” ujarnya pelan.
“Sebentar, Din. Aku mesti memberi pelajaran ini mulut si Onta.” Aku melotot ke arah Camelia. Dia malah menoleh ke arah Cindy dengan wajah tidak mengerti.
“Onta?” Camelia masih memandang Cindy tak mengerti, sepertinya dia masih belum paham mengapa dia DIpanggil si Onta.
“Apa maksud lu, Anak koruptor? Bilang teman gue si Onta.” Cindy membentak sambil membalas mengarahkan telunjuknya ke mukaku.
“Lu bisa stop ngomong kayak ‘gitu?” Aku mulai tidak bisa mengendalikan emosi.
“Ngomong apa? Anak koruptor? Lu emang anak koruptor ‘kan. buktinya bokap lu masuk penjara.” Cindy mendekatkan mukanya, suaranya keras saat mengucapkan kalimat itu. Amarahku rasanya sudah sampai ke ubun-ubun.
Sebuah tamparan keras mampir ke pipi kiri Cindy, dia memandang tidak percaya apa yang baru saja kulakukan.
“Astaga, berani banget dia nampar lu, Cin.”
Cindy memegang pipinya yang merah gara-gara tanganku. Dia melangkah maju lalu mendorongku hingga terjajar ke tembok.
“Berani banget lu.” Cindy membalas menampar pipi kiriku dengan telapak tangan kanannya, lalu mampir ke pipi kanan dengan menggunakan punggung tangannya. Shit, rasanya panas sekali pipi kiri dan kanan.
Aku tidak mau diperlakukan seperti itu, kaki kanan maju selangkah untuk membalas perlakuannya. kerah bajunya kutarik dengan keras hingga kancing atas bajunya copot. Aku bersiap melayangkan pukulan ke hidung mancungnya.
Camelia tidak tinggal diam melihat Cindy yang sepertinya mentalnya down itu, dia menarik rambutku yang dikuncir kuda, lalu menarik ikatannya hingga rambutku terjurai ke bahu.