Ruang BK terletak bersebelahan dengan masjid sekolah di sebelah kanannya. Aku dan Dinda duduk di kursi di depan ruang tersebut, menunggu Pak Akbar datang.
“Raya, setelah Pak Bar-bar datang, ana tinggal ya,” ucap Dinda membuka pembicaraan.
Aku mengernyitkan dahi dengan penggunaan kata Pak Bar-bar di kalimat Dinda, pasti maksudnya adalah Pak Akbar.
“Pak Bar-bar?”
“Pak Akbar, maksudnya.”
Dinda tertawa, aku menggelengkan kepala karena tidak mengerti mengapa dia memanggil Pak Akbar dengan kata itu. Kata Bar-bar itu ‘kan konotasinya tidak baik.
Mengapa aku harus membahas kata itu sih?
“Temani aku ya, Dinda. Malas rasanya bertemu dengan Pak Akbar sendirian.”
“Lho? Memang mengapa sih, Ray? Ketemu guru BK itu asyik dan menyenangkan. Apalagi Pak Bar-bar itu ganteng, masih single lagi,” kata Dinda mulai meracau.
Jangan-jangan gadis berkaca mata ini kesurupan? Aku baru melihatnya bertingkah begini.
“Dinda, kamu mengapa sih?”
“Ya elah, Ray. Boleh kali ana nge-halu sebentar. Demi masa depan ana dengan Pak Bar-bar, demi rahim yang akan dibuahi my bebeb nanti, astaghfirullahaladzim.” Dinda menahan tertawanya setelah menyadari apa yang dia lakukan sudah keterlaluan.
“Gue enggak menyangka, ternyata kamu punya halu* tingkat dewa, Dinda.”
Aku tertawa melihat tingkah Dinda, ternyata dia menyenangkan juga sebagai teman. Sejenak memudar sakit hati yang kurasakan dengan mantan teman-teman bedebah di kelas tadi.
Melintas dalam benak undangan yang dikirim Pak Akbar kemarin lewat chat, sebuah pesan pendek yang membuat hati hancur dalam sekejap. Semua angan dan keindahan tiba-tiba jatuh terserak. Andai saja Dinda tahu juga bahwa idolanya akan menikah, apa yang akan dia rasakan nanti?
Dinda melihat jam tangannya yang tertutup oleh lengan seragamnya yang panjang, lalu dijulurkan kembali menutupi jam itu. Diam-diam aku mengagumi Dinda, selain pintar dia itu tergolong cantik, hanya saja pakaiannya tidak modis menurutku. Dia menggunakan seragam panjang dengan jilbab lebar yang menutupi dadanya, pakaiannya pun longgar sehingga tidak mencetak tubuhnya. Jika saja pakaian panjangnya itu dibuat ketat, pasti bentuk tubuhnya akan kelihatan lebih menarik.
“Ada apa. Ray?” Ternyata Dinda merasa saat aku memperhatikannya, aku tergagap.
“Oh, enggak, sorry. I don’t mind it.” Dinda tersenyum melihat aku nervous
“Jangan memandang ana seperti itu, nanti jatuh cinta lho.”
“What!”
“Anti ‘kan tahu, ana udah punya bebeb, Pak Bar-bar.”
Astaga, ini si Dinda nge-halu lagi.
“Dinda, jangan mencintai seseorang secara berlebihan, nanti kamu terluka.”
“Enggak kok, Ray. Ana cuma bercanda aja, menenangkan dahaga batin yang kadang suka menginginkan yang enggak jelas,” ujarnya sambil tersenyum, “Ana percaya bahwa Allah sudah menetapkan jodoh kita masing-masing di Lauhul Mahfudz.”
Tiba-tiba pembicaraan menjadi serius, apalagi dengan istilah yang tadi disebutkannya? Lauhul Mahfudz.
Mataku menangkap Pak Akbar sedang berjalan di selasar menuju ke Ruang BK. Laki-laki berbadan tinggi tegap itu membuat dada tiba-tiba berdegup tidak karuan.
“Tuh, my bebeb udah datang. Ana tinggal ya, Ray.”
“Jangan, Din.”
“Begini aja, nanti ana minta pendapat my bebeb ya. Sebaiknya ana nemenin anti di sini atau bisa ditinggalkan aja,” kata Dinda, aku mengangguk ragu mendengar apa yang diucapkannya.
Laki-laki berwajah timur tengah itu semakin mendekat, jantung semakin tidak jelas debarannya, Mengapa seperti ada sesuatu yang ingin memberontak di mata ini?
“Hey, anti mengapa, Ray? Enggak usah takut, guru BK itu enggak kayak Pak Suripto di zaman Dilan.”
Aku mengernyitkan dahi, berusaha mencerna apa yang dimaksud Dinda. Mengapa segala Dilan dibawa-bawa?
“Assalamualaikum,” ucap Pak Akbar.
“Waalaikumsalam warohmatulloh wabarokatuh, Pak.” Dinda menjawab dengan senyum tersemat di bibirnya,
Ketua kelasku itu sejenak menelusuri wajah lelaki di depannya, lalu menunduk seraya ber-istighfar. Dinda ada apa sih denganmu? Istigfar terus.
“Ayo masuk, Raya, Dinda. Kita bicaranya di dalam saja.” Pak Akbar mendorong pintu ruang BK yang ternyata tidak dikunci.
Aku terkesiap saat melihat pintu ruang itu terbuka. Rasanya tidak siap untuk masuk ke sana, apalagi bersama dengan orang yang telah menodaiku.
“Ayo Raya, Dinda. Masuk.” Pak Akbar mengajak lagi, dia menyematkan senyum kecil di bibirnya, Dinda menunduk lagi, bibirnya ber-istigfar lagi saat melihat senyum itu.