Hukuman dari Pak Ronald buatku karena berkelahi di kelas adalah membersihkan WC masjid sekolah. Walaupun memang terasa tidak adil, karena posisiku adalah korban pem-bully-an oleh Cindy dan si Onta Camelia. Tetapi biarlah, aku yakin ada hikmah yang bisa diambil karena hukuman ini. Aku yakin setiap hukuman yang diterima siswa adalah bagian dari pendidikan, Ikhlaskan saja.
Masih beruntung aku membersihkan WC masjid yang relatif bersih, mantan teman-teman bedebah itu diminta membersihkan semua WC siswa dan siswi. Tempat itu ‘kan menjijikkan sekali, apalagi WC siswa yang kotor yang berantakan dan bau pesing.
Walaupun aku pernah dibesarkan dalam lingkungan yang serba ada, Ayah dan Bunda telah membesarkan aku dan Roman sebagai pribadi-pribadi yang kuat dan tidak cengeng. Jika dihukum oleh guru Bunda bilang itu adalah bagian dari ilmu, tidak usah kesal apalagi dendam.
Aku menuju WC sambil menenteng ember merah kecil yang berisi sikat panjang berwarna biru dan gayung. Sebenarnya Pak Ronald tadi bilang, aku boleh istirahat dulu sebelum membersihkan WC. Tapi rasanya aku malas ke kantin khawatir nanti bertemu mereka lagi yang akan menyebabkan emosi meletup lagi, ditambah perut rasanya memang belum lapar.
Baru saja aku duduk di teras masjid untuk membuka sepatu, sebuah tepukan di bahu mengejutkan.
“Hai, Ray,” ujar suara itu.
Aku menoleh dari mana suara berasal, ternyata itu adalah milik Dinda. Gadis berkaca mata itu tepat berada di belakang.
“Dinda, ngagetin aku aja.”
Aku melanjutkan melepas kaus kaki satu persatu lalu dimasukan ke dalam sepatu.
“Kaget? Emang lagi mikirin apa? Eh, mikirin siapa, Ray?” guraunya sambil tertawa. Aku baru sadar ternyata Dinda saat tertawa matanya hanya berupa sebuah garis lurus.
“Kalau tertawa jangan merem, entar aku tinggal pergi ‘ni,” ledekku.
“Ya gimana dong? Emang begini dari lahir, tapi manis kaaaan?” ujarnya sambil menopang wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil tersenyum.
“Najis banget kamu, Dinda.”
“Ya jujur aja kali Raya, ana manis ‘kan?” Dinda mencolek pinggangku beberapa kali dengan ujung telunjuknya.
“Iya manis, Dinda. Maniiiis banget malah, Senang?”
“Tentu saja ana senang, syukron, Raya.”
“Syukron?”
“Syukron itu bahasa Arab artinya thank you.”
“Oh.” Aku mengangguk pelan, bertambah lagi kosa kata bahasa Arabku.
“Eh, betewe, gimana urusan anti dengan guru BK? Dengan Bebeb Akbar? Sudah selesai ‘kan?” Aku mengangguk pelan untuk menjawabnya. Walaupun mungkin urusan dengan Pak Akbar masih akan berlarut-larut, entah sampai kapan.
“Alhamdulillah, urusan dengan Pak Ronald?”
“Belum, kalau dengan Pak Ronald. Ini aku dihukum membersihkan WC masjid olehnya, tapi mendingan sih dari pada itu kedua mantan teman bedebah yang dihukum membersihkan semua WC cewek dan cowok.”
“Waw, pasti melelahkan sekali itu ya, Ray.”