Mengapa pesan yang kukirim belum sampai juga? Masih saja ceklis satu sejak Asar tadi, menyebalkan sekali. Apakah nomor aku diblok? Tapi apakah mungkin dia melakukan itu?
Dulu pernah kuberpikir sedang diblok olehnya, saat itu aku mengirim pesan dan hanya ceklis satu dari pagi sampai keesokan siang. Kebetulan memang akun whatsApp-nya tidak ada foto profilnya. Saat bertemu dengannya aku langsung marah-marah, tetapi kemudian menjadi malu sendiri saat dia memberi penjelasan bahwa dia sedang tidak ada kuota internet.
Sebal, mengapa sih dia tidak menggunakan foto di whatsApp-nya? Jadi susah mendeteksinya dia ada kuota internet atau tidak saat ceklis satu seperti ini.
Dia juga tidak menyimpan nomorku, Entah apa itu alasannya dia melakukan itu. Aku ‘kan jadi tidak bisa lihat status-status whatsApp orang yang selalu kurindukan itu.
Lebih enak rebahan saja dari pada bete menunggu chat dibalas olehnya, biarlah Allah saja yang membalas. Aku menertawakan diri sendiri, mengapa aku masih berharap kepada orang yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya itu?
Ponsel aku lempar ke atas bantal, biarlah malam minggu ini aku lewatkan dengan tidur cepat saja. Allahuma bariklana fiima rozaktana wakina adzabannar. Salah doa, Itu ‘kan doa mau makan.
Sengaja malam ini aku menyalakan dering di ponsel, supaya saat nanti dia balas aku bisa mendengarnya. Padahal biasanya aku malas sekali menyalakan nada dering, malas diganggu.
Walaupun bukan dia yang chat, orang lain juga bolehlah. Setidaknya mungkin malam ini ada hiburan walau sedikit. Walaupun bukan seorang manusia, hantu juga boleh. Wait, agak aneh chat sama hantu nanti. Akan menjadi sesuatu banget saat Miss Kunti menggunakan voice note di whatsApp, apalagi saat dia sedang tertawa. Bisa-bisa merinding semua bulu ketek.
Sebuah pesan terdengar masuk, mungkinkah itu dia membalas chat tadi? Aku menggeser badan dengan berguling untuk meraih ponsel yang tergolek di atas bantal. Masih terdengar beberapa kali pesan itu masuk. Sebuah dering telepon menyusul setelahnya.
Siapa sih nge-chat terus nelepon malam-malam, ngapain juga nelpon? Hmm, tidak ada namanya di ponsel, Siapa ya? Aku menekan tombol hijau.
“Halo,” ujarku malas.
“Raya, kiw kiw,” balas suara perempuan di ujung sana, seperti kukenal suara ini.
“Ini siapa, ya?”
“Ya Allah, Raya. Ini Dinda, belum di-save ya nomor ana?”
“Dinda? Maaf apakah ini Dinda Humaira, Kelas 11 IPS 1?”
“Memangnya ada Dinda lain yang bersahabat dengan anti?” Suaranya terdengar menyelidik.
“Enggak sih," kataku sambil tertawa. "Ada apa Dinda?”
“Anti sedang apa?”
“Enggak, ini lagi tidur.”
“Dasar, ana kira ana aja yang halu, ternyata Anti juga.”
“Maksud kamu apa, Dindut?”
“Anti bilang lagi tidur, masa tidur bisa nerima telepon? Mengingau? Satu lagi, ana enggak suka disebut Dindut.”
“Mengapa? Itu ‘kan cuma sebutan aja, Dindut.”
“Enggak, Raya, please. Karena Dindut itu singkatan dari Dinda gendut, aku maunya Dinis, Dinda Manis.”
“Dinda manis itu singkatannya bukan dinis tapi diman.”
“Itu nama Kang Cilok di depan sekolah, Raya.” Aku tertawa karena dia hafal nama pedagang yang mangkal depan sekolah.
“Ya iya ‘kan, Dinda manis singkatannya diman”
“Udah, enggak usah dindut atau diman, Dinda Humaira aja panggilnya.”
“Iya, Dinda Humaira, ada apa nelepon?” Terdengar suara tertawanya di ujung sana.
“Begini, Kalau Anti enggak lagi ngapa-ngapain ana mau ngajak keluar. Kebetulan ini ana lagi sama Kak El dan Fikri.”