JATUH HATI TANPA JEDA

Kingdenie
Chapter #7

Nge-hits into Nge-gamis

Lumayan seru juga malam ini, ternyata mereka adalah teman-teman yang menyenangkan. Kak El yang baru kukenal beberapa hari lalu ternyata lumayan pandai melucu, Fikri yang terlihat serius juga bisa mengikuti guyonan Kakak kelasnya. Sedangkan Dinda justru bisa lucu juga dengan kepolosannya itu, walaupun aku yakin gadis berkaca mata itu tidak sepolos kelihatannya.

Walaupun sebenarnya agak risih karena sepertinya aku salah kostum malam ini, mereka semua menggunakan pakaian muslim. Kak El menggunakan koko putih dengan strip warna biru di bagian tangannya senada dengan Fikri yang juga ber-koko putih polos. Dinda terlihat anggun sekali dengan gamis hitam polosnya. Sedangkan aku, celana jins yang berbalut jaket, pemandangan yang sangat kontras sekali.

Jam dinding sudah menunjukkan tepat jam sembilan malam, sejak tadi keseruan tak hentinya di meja. Ada saja hal lucu dan aneh yang keluar dari mulut mereka.

“Kak, ini kita sejak tadi cuma tertawa terus, enggak ada niat bahas yang berfaedah?” ujar Dinda, sepertinya dia sudah lelah tertawa.

Suasana tiba-tiba berubah menjadi serius karena kalimat yang diucapkan oleh Dinda.

“Iya, Kak El. Tadi katanya mau sekalian bahas Rohis di sini?” Fikri menimpali sambil merapikan posisi peci hitamnya.

Kak El nampak sejenak berpikir lalu meminum jus di depannya yang tersisa sedikit.

“Bahas sekilas saja ya, ana lagi rada nge-blank ini.” Kak El sepertinya mulai serius.

“Kayak laptop rusak antum, Kak,” celetuk Fikri, Pemuda yang dimaksud itu menyambutnya dengan kernyitan dahi.

Ssst, Fikri. Jangan mulai lagi.” Dinda melotot ke arah Fikri.

“Afwan.” Terlihat wajah yang merasa tidak enak di wajahnya.

“Begini, pembahasan kegiatan Mabit kita bahas besok malam. Kita enggak bisa membahas tanpa formasi lengkap, karena Naumy enggak bisa datang. Dinda, ana berharap, anti malam ini atau besok, tolong pastikan dia besok bisa datang atau enggak?” ujar Kak El, sepertinya dia sudah mulai serius seratus persen.

“Baik, Kak.” Dinda menjawab mantap.

“Naumy sepertinya sedang enggak fokus dengan Rohis akhir-akhir ini, Kak. Dia ikut lomba menulis novel di flatform online, kejar target dalam sebulan harus selesai.” Fikri menjelaskan.

“Ciyeee, Fikri ternyata tahu segalanya tentang Naumy.” Dinda tersenyum saat meledek Fikri, disambut semu merah wajah Ketua Rohis itu.

“Sepertinya ada bara cemburu di kalimat anti, Ukhty.” Fikri membalas perlakuan terhadapnya, kali ini Dinda yang gelagapan.

Allahu Akbar, Fik. Ana memanjatkan doa kepada Allah subhanahu wataala, tentang orang yang ana percayakan rasa fitrah ini.” Dinda berusaha membela diri.

Ana percaya anti pasti melakukan hal seperti itu, tapi bukan nama ana ‘kan yang anti minta kepada Allah?” kata Fikri sambil tersenyum ke arah Dinda.

Gadis berkaca mata itu menunduk, dia tiba-tiba speechless mendengar kalimat Fikri. Sepertinya kalimat itu mengena langsung ke hatinya.

Jadi apakah benar apa yang diucapkan Fikri tadi? Aku menduga Dinda memang membawa nama Fikri ke doa-doanya? Jadi sebenarnya perasaannya dengan Pak Akbar bagaimana?

“Sudah, kita kembali ke laptop ya,” ujar Kak El menengahi, “Jika belum ada kejelasan dari Naumy, kita harus mencari orang lain yang bersedia menggantikan posisinya sebagai sekretaris kegiatan. Besok kita kumpul lagi untuk membahas ini, tapi jangan di sini. Kita cari yang lebih sepi dan cozzy, di mana kira-kira, Fik?”

Ana enggak tahu, Kak. Biasanya perempuan yang suka kulineran tahu tempat-tempat yang enak, benar enggak Dinda?”

“Tapi ana enggak tahu tempat yang seperti itu, ana biasa kulineran di tempat-tempat kayak gini doang,” ujar Dinda.

“Raya, anti tahu?”

Aku kaget mendengar pertanyaan Kak El karena sedang membaca pesan yang baru saja masuk ke ponsel. Sepertinya pesan itu dari dia.

“Kita butuh tempat yang seperti apa, Kak?”

Aku membalikkan posisi ponsel, hingga layarnya sekarang menghadap ke muka meja. Biarlah aku baca pesan itu nanti saja, khawatir mereka curiga jika pesannya memang dari dia.

“Tempat yang nyaman untuk rapat, Ray.” Pertanyaanku malah di jawab oleh Fikri, disambut anggukan kepala Kak El.

“Ada sebuah tempat sederhana, tapi menurutku cukup nyaman untuk rapat kecil Rohis.”

“Di mana, Ray?” Dinda sepertinya penasaran.

“Bunda ada tempat yang menurutku lumayan nyaman. Mungkin kita bisa menggunakan salah satu space di sana.”

“Di mana?” Dinda dan Fikri hampir bersamaan mengucapkan kata itu, Kak El tersenyum, melihat kedua rekannya yang sepertinya sehati itu.

Cafe Benazir.”

Cafe Benazir itu punya Bunda? Cafe baru yang dekat kantor kecamatan itu?

“Iya.” Aku menjawab singkat.

“Baru eungeuh itu nama Cafe Benazir, itu diambil dari nama anti ya, Ray? Benazir Raya Putri.” Aku tersenyum ternyata Dinda hafal nama panjangku.

“Iya, bunda sengaja menggunakan nama Benazir itu, katanya unik jika digunakan untuk nama Cafe.

Okey, besok malam kita bertemu di Cafe itu bakda Isya. Jangan lupa pastikan Naumy ya, Dinda.” Kak El mengingatkan.

“Gimana jika Naumy dipastikan sekarang aja, Kak? Aku telepon,” usul Dinda.

Tafadhol, ukh.

Lihat selengkapnya