Motor matic Dinda berhenti di depan rumah besar di ujung blok perumahan mewah. Blok BJ No. 05 tertulis di gerbang berwarna hijau lumut. Mataku tak sengaja melihat dua buah cctv menempel di kiri dan kanan gerbang, letaknya agak tersembunyi di balik rimbun bunga bougenville berwarna pink pucat.
Apakah ini rumah Dinda? Aku tidak percaya rumahnya ternyata sebesar ini?
Gerbang terbuka perlahan, seorang security muda berperawakan atletis berdiri menyambut di sebelah kanan. Sebuah senyum ramah tersungging di bibirnya. Dinda perlahan membawa motornya masuk, sebuah klason dibunyikan sekali. Pemuda berambut pendek dan berbadan tegap itu mengangguk sopan mendengar suara yang dibunyikan Dinda. Aku menyempatkan melirik nama satpam itu, Aril Piterpen.
Dinda memasukkan motornya. Garasi besar itu sepertinya hanya mempunyai rolling door di bagian depan saja sedangkan bagian belakang dibiarkan terbuka tanpa penghalang tembok. Terlihat sebuah motor Harley Davidson nongkrong dengan sombong di sana, bersebelahan dengan sebuah motor besar bermerek Ducati berwarna biru langit. Setahuku motor besutan Italia itu harganya ratusan juta tidak kalah dengan motor di sampingnya.
Dia menanggalkan helm dan buff-nya lalu meletakkannya di sebuah lemari kaca di mana berjajar helm-helm bermerk.
Benakku masih dipenuhi dengan tanda tanya besar? Apakah ini rumah Dinda? Aku mematung memperhatikan sekitar rumah yang sama sekali tidak pernah terbayangkan seperti ini.
“Yuk, ke kamar ana,” ajak Dinda, dia menarik tanganku keras. Selalu saja dia seperti ini, memaksa.
Dari garasi itu ada pintu penghubung yang langsung tembus ke ruang tengah, Saat kaki menginjak ke ruang itu kesejukan menyambut, ruang itu begitu nyaman. Walaupun sepertinya tidak ada pendingin ruangan.
Terlihat seorang perempuan ber-hijab lebar di ruang tengah tersebut, di tangannya nampak sebuah buku tebal sedang dibacanya. Apakah ini ibunya Dinda?
“Assalamualaikum, Umi.” Perempuan itu menoleh, sebuah senyum mengembang saat melihat siapa yang datang.
“Waalaikumsalam warohmatulloh, alhamdulillah anak Umi sudah sampai rumah.” Dinda mencium tangan ibundanya, aku mengikuti apa yang dilakukannya.
“Alhamdulillah, Mi. Ini teman Enda, namanya Raya.” Aku tersenyum lalu mengangguk. Ternyata Dinda di rumah membahasakan dirinya dengan kata Enda.
“Raya, kenalkan ini adalah pahlawan yang paling hebat di rumah ini, Umi Hamidah.” Dinda mencium pipi perempuan itu, “Enda pamit ya, Mi. Mau ke kamar dulu.”
“Iya, Sayang.”
Aku mengangguk sopan berpamitan dengan perempuan anggun tadi, mengikuti tarikan tangan Dinda ke kamarnya yang terletak di sebelah kiri.
Kamar Dinda luas sekali, tembok berwarna biru langit menyambut saat pertama kali masuk. Mata teralihkan oleh sebuah pemandangan pantai beserta dengan pohon dan batu-batuan. Gambar itu menutupi semua tembok di sebelah kanan tempat tidurnya, indah sekali.
Ada sebuah rak buku di dekat jendela kamar nyang lebar, terlihat banyak sekali buku-buku yang tertata rapi di sana. Koleksi novel dan buku-buku ilmiah Dinda luar biasa sekali, banyak dan bearagam. Di sebelah kanan rak buku tersebut ada sebuah meja berukir.
Sebuah lemari besar berukir empat pintu menyita sebagian besar tembok di sebelah kiri rak buku itu.
“Feel free aja ya, Ray. Anggap rumah anti sendiri, ana mau mandi,” pamit Dinda saat aku sedang memperhatikan sekeliling kamarnya.
“Oke, Din.”
“Sementara ana mandi, anti boleh baca-baca novel di rak itu atau pilih gamis yang anti suka di lemari.” Dinda membuka salah satu pintu berukir itu. Nampak di sana berjejer rapi di hanger gamis dengan warna-warna cerah.
“Pilih yang anti suka ya, Ray. Boleh ambil sesuai kebutuhan. Nanti jilbabnya ambil di sini.” Dinda membuka lagi pintu di sebelahnya, terlihat di sana jilbab yang tertumpuk rapi yang juga warna-warni.
“Koleksi gamis yang luar biasa sekali, Dinda.”
“Semoga pakaian-pakaian ini tidak memberatkan ana saat dihisab nanti, Ray.”
Aku terperangah dengan jawaban Dinda, apakah pakaian-pakaian ini bisa memberatkan saat dihisab?
“Ana mandi dulu ya,” pamit Dinda meninggalkanku yang masih penuh dengan tanda tanya tentang bhisab tadi.
***
Masih belum hilang rasa tidak percaya dengan apa yang aku lihat tadi di rumah Dinda, ternyata gadis berkacamata yang selalu berpenampilan sederhana di sekolah itu dari kalangan borjuis. Bagaimana bisa dia menyembunyikan identitas sebenarnya sebagai kalangan atas di sekolah? Bahkan rumahnya lebih besar dari rumahku yang dulu, anggota genk Awesome juga tidak ada yag rumahnya sebesar itu. Dia di sekolah tidak ubahnya seperti siswa dari golongan keluarga menengah ke bawah. Sepatu, tasnya pun tergolong merk yang biasa, bukan brand yang mewah.
Motor Dinda berhenti di depan rumahku. Terlihat motor Bunda sudah nongkrong di teras, menandakan beliau sudah pulang.
“Alhamdulillah. Akhirnya ana tahu juga rumah anti, Ray.”
“Maaf, Dinda. Rumahku kayak begini, enggak kayak rumah kamu.”
“Hush, jangan ngomong seperti itu, Ray. Harta kita hanya titipan. Allah akan mengambilnya kembali kapan saja.” Kalimatnya membuatku tersentak, mungkin hal inilah yang menyebabkan Dinda tidak pernah menonjolkan dia itu dari kalangan borzuis.
Rak sepatu yang ada di pojok teras menjadi tempat alas kaki yang baru saja kulepaskan sesaat tiba di depan beranda.
“Assalamualaikum.” Sebuah salam kuucapkan setelah membuka pintu dengan perlahan. .
“Walaikumsalam warohmatulloh.”
Terdengar suara Bunda menjawab dari kejauhan sepertinya dari bagian belakang rumah. Mungkin sedang memasak di dapur.
“Dinda, ayo.” Aku menarik tangan Dinda yang masih duduk di atas motornya. Dia mengikuti tarikan tanganku yang mengajaknya paksa.
“Wait, Raya. Biasanya ‘kan ana yang suka maksa anti, mengapa sekarang terbalik kayak begini?” ujarnya sambil berusaha mengikuti langkah kakiku.