Hari ini adalah ujian tengah semester dua hari pertama SMA Dipa Negara, saat ujian seperti ini ada dua hal yang saling bertolak belakang. Pertama, senang bisa pulang cepat dari biasanya. Kedua, kepala pusing karena harus berpikir untuk menjawab soal dengan baik dan benar.
Setelah pengarahan di lapangan setelah upacara bendera tadi tentang UTS, semua siswa menuju ke kelasnya masing-masing. Saat kegiatan ini siswa biasa duduk dicampur dengan jenjang kelas lain, jadi ada kelas 10, 11 dan 12 dalam setiap kelas.
Setelah sharing dengan Dinda tentang kewajiban menutup aurat semalam. Aku berniat mulai hari Senin ini akan mulai mengenakan hijab. Sebuah keputusan yang besar untukku, apalagi itu berarti merubah gaya berpakaian dari siswi nge-hits menjadi siswi ber-hijab.
Sementara aku belum memiliki seragam sekolah panjang, Dinda menawarkan untuk menggunakan seragam miliknya. Tentu saja tawaran itu tidak kusia-siakan karena aku sudah bertekad untuk menjadi pribadi yang baru.
Saat mematut di depan cermin dengan seragam baru saat berangkat sekolah, aku pangling dengan diri sendiri. Benar-benar sosok yang baru dari Benazir Raya Putri. Aku yang biasa berpakaian serba ketat dan menampakkan aurat kini seolah berubah menjadi perempuan saleha, aamiin
Saat keluar dari kamar dan berpamitan dengan Bunda, beliau terkejut dan terharu melihatnya. Terlihat di sorot mata Pahlawan Tanpa Tanda Jasaku sebuah kebahagiaan. Sebuah ciuman dihadiahkan di pipi kanan dan kiri, aku membalasnya dengan mencium keningnya.
Walaupun dicampur bersama dengan kelas lain, aku merasa beruntung karena di ruang tiga ada Dinda. Mungkin karena namanya dari huruf D dan aku dari huruf B jadi saat dipetakan kelas oleh panitia menjadi satu kelas. Dinda duduk bersama dengan kakak kelas perempuan, sedangkan aku duduk dengan siswi berwajah oriental. Adik kelas itu bermata sipit dengan rambut tergerai sebahu. Etchiko namanya dia kelas 10 IPS 1. Agak aneh berbicara dengannya tadi saat berkenalan, dia menggunakan bahasa Indonesia dengan kaku sekali.
Siswa-siswi berhamburan keluar kelas setelah terdengar bel meraung tiga kali, tanda waktu untuk istirahat. Beberapa dari mereka langsung menuju kantin, ada juga yang tergopoh menuju WC. Mereka sepertinya sejak tadi menahan hasrat karena pengawas ruang adalah Pak Ronald yang terkenal killer.
Etchiko merapikan peralatan menulisnya yang tadi digunakan untuk mengerjakan soal, nampaknya dia tidak tergesa untuk beristirahat.
Dinda datang menghampiri dari belakang, nampak di tangannya plastik berwarna bening. Terlihat sebuah box makanan berwarna kuning dari luar plastik itu.
“Raya, kita enggak usah ke kantin, ana bawa snack,” ujar Dinda sambil mengangkat plastiknya.
“Mantap, jadi hari ini bisa hemat.” Aku tersenyum.
“Tapi ini singkong keju, anti suka singkong enggak, Ray?”
“Singkong keju aku suka banget, Din.”
“Alhamdulillah, ana enggak salah bawa berarti.”
Etchiko yang masih duduk di bangku sampingku, terlihat memperhatikan arah pembicaraan kami. Matanya berbinar saat mendengar singkong keju, mungkin dia juga suka. Walau sepertinya ingin bergabung dalam pembicaraan, dia tidak mengeluarkan suara.
“Afwan, ana belum memperkenalkan diri, ana Dinda, kelas 11 IPS 1. Teman baiknya Raya.” Dinda mengulurkan tangannya ke arah Etchiko. Gadis berwajah oriental itu tersentak, sepertinya dia tidak menyangka akan diajak berkenalan oleh kakak kelasnya.
“Aku Etchiko. Kelas 10 IPS 1, Kak,” kata gadis itu agak tergagap.
Dia menjabat uluran tangan Dinda sambil tersenyum matanya terlihat lebih sipit dari sebelumnya. Aku merasa lidahnya itu seperti terbiasa bercakap-cakap dalam bahasa Inggris.
“Anti siswi baru ya di sini, Et?”
“Iya, Kak," jawab Etchiko, "Tapi memanggil namaku jangan Et, Kak. That's weird.”
“Eh, ana salah ya?”
“Nope, Kak. Hanya saja tidak enak terdengarnya, terdengar aneh.”
“Jadi gimana ana manggil nama anti supaya enak kedengarannya?”
“Chiko, Kak.”
“Okey, Chiko. Anti mau ikut istirahat bareng enggak?”
“Anti artinya kamu ya, Kak?” tanya Chiko. Nampaknya kata itu mengganggunya sejak awal diucapkan oleh Dinda.
“Iya, itu bahasa Arab. Anti artinya kamu, ana artinya aku atau saya.” Aku menjelaskan dengan sotoy*, Dinda tersenyum melihatku yang sok tahu.
“I See. By the way, tawaran istirahat barengnya menarik sekali, Kak. but ....” Chiko sejenak seperti berpikir.
“Enggak apa-apa juga kalau enggak bisa. Enggak ada paksaan,” ujar Dinda sambil tersenyum.
“Aku mau sebenarnya, Kak. Tadi pura-pura berpikir saja, padahal butuh.”
“Dasar.” Aku tersungut mendengar kalimat gadis bermata sipit itu.
“Tidak apa-apa kali, Kak. Namanya juga aku anu,” ujar Chiko sambil garuk-garuk pipinya dengan telunjuk tangan kanan.
“Anu apa?” kataku.
Kalimat Chiko seketika membuatku dan Dinda mengernyitkan dahi. Chiko tertawa. Adik kelas ini aneh menurutku karena penggunaan bahasa Indonesianya yang masih kaku dan baku, ditambah dengan aksen inggrisnya.
“I am sorry, Kak. Aku suka kebiasaan menggunakan kata anu.” Chiko menyematkan senyum di kalimatnya.
“Sudah enggak usah dibahas. Yuk, kita istirahat dulu. Nanti keburu bel masuk,” ajak Dinda sambil melangkahkan kakinya ke luar kelas, aku dan Chiko mengikutinya.
Kami menuju ke sebuah tempat duduk di bawah pohon jati besar yang rindang. Di sana sudah ada dua orang siswi kelas lain yang sedang bercengkerama. Mereka adalah siswi kelas 10 MIPA, salah satunya aku kenal, namanya Silvi Apriliani anak Rohis.
“Assalamu alaikum,” sapa Dinda.
“Waalaikumsalam, Kak Dinda.”
“Boleh gabung?”
“Tentu saja, Kak Dinda. Ayo silahkan.” Mereka duduk beringsut berusaha menyediakan tempat untuk kami bertiga.
Sekarang di bawah pohon jati itu ada lima siswi yang mengelilingi satu meja yang terbuat dari akar pohon besar yang dibuat datar atasnya. Dinda membuka box makanan yang dibawanya tadi, semerbak harum wangi singkong keju itu menyita indera penciuman.
“Hmm, harum, Kak,” ujar Chiko sambil menelan ludah.
“Yuk, kita hajar.” Dinda mengajak semua yang ada di sana untuk segera menikmati singkong keju itu. Dia memulai dengan mengulurkan tangan lebih dulu, diikuti olehku dan Chiko yang sepertinya masih agak malu.
Dinda mendorong wadah singkong keju itu, lalu didekatkan ke Silvi, dengan sopan siswi jelita itu meraih singkong keju yang disodorkan kepadanya. Dinda memperhatikan siswi yang bersama Silvi, siswi itu rambutnya dikuncir belakang.