JATUH HATI TANPA JEDA

Kingdenie
Chapter #10

Bunda Babay

Mentari sudah mulai bersinar terang, sinarnya mengintip dari balik tirai jendela yang masih tertutup. Setelah salat Subuh rasanya malas sekali untuk beraktifitas, hanya ada hasrat untuk rebahan saja dan melanjutkan menikmati kembali hangatnya selimut.

Virus Corona sudah masuk ke Indonesia, bahkan sudah mulai ada yang meninggal dunia. Berdasarkan alasan itu sekolah diliburkan selama empat belas hari ke depan untuk siswa, tetapi guru-guru tetap masuk. Entah berdasarkan alasan dan pertimbangan apa kebijakan itu? Apakah guru sudah kebal dengan virus itu? Ataukah virus menaruh hormat ke guru sehingga tidak menular ke mereka. Ada rasa curiga di hati jika sekolah tidak libur selama empat belas hari saja, masih akan berlanjut beberapa minggu setelahnya atau malah beberapa bulan ke depan.

Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB, masih belum ada keinginan untuk meninggalkan tempat tidur yang nyaman ini. Terdengar sebuah pesan masuk ke ponsel, terpampang nama Dinda Humaira di sana.

Assalamualaikum warohmatullohi wabatokatuh, Gutten Morgen. Apakah dengan sekolah diliburkan gara-gara Covid 19 kita libur juga bersahabat, Ray?” Sebuah emoticon tertawa menjadi penutup pesan itu.

Aku menggerakkan jemari untuk membalas chat-nya.

Hmm, shobahul khoir. Ada orang Jerman menyapa di pagi hari begini. Aku masih dibalut selimut, Dinda. Enggak tahu apakah akan beranjak atau tidak, rasanya begitu nyaman di sini.” Aku mengirim pesan itu, beberapa detik kemudian balasan pesan Dinda.

“Dasar the people of rebahan, ana ke rumah anti jam 8 ya, Ray.”

“Jam delapan? Memangnya kita mau ke mana, Dinda?”

Astaghfirullah, katanya mau ke rumah Pak Akbar? Jadi enggak?”

Astaga, mengapa aku lupa hal yang sangat penting untuk anak cucuku yang belum menjadi benih? Kalimat Dinda auto menumpahkan semangat membara ke hati. Ke rumah Pak Akbar, itu adalah keyword hari ini.

“Oke, Dinda. Sampai bertemu jam delapan ya.”

Sebuah sticker gambar jempol masuk ke ponsel sebagai balasan. Aku beranjak dari tempat tidur, melepaskan dekapan selimut.

Ke rumah Pak Akbar adalah idenya Dinda. Jujur aku agak takut saat dia menyampaikan itu, tetapi dia berhasil meyakinkan. Kata sahabatku ini jika masih mau bertahan di sisi Pak Akbar harus berani untuk mengambil resiko. Hal yang harus dilakukan adalah mendekati keluarganya, kenali mereka dan kenalkan diri sendiri sebagai sosok yang layak. Dinda sepertinya seorang perencana pertempuran yang handal, dia pandai sekali bersiasat.

Saat aku tanyakan bagaimana detail rencananya, Dinda hanya bilang rencana ini baru diatur sampai ke rumah Pak Akbar saja setelah itu belum ada bayangan sama sekali. Padahal baru saja aku menyimpulkan dia perencana pertempuran yang hebat, ternyata salah. Aku menarik lagi pernyataan itu.

Dasar Dinda, si cewek otak kanan. Dia tidak memikirkan resiko yang akan terjadi nanti, jalani saja dulu katanya. Tapi aku suka cara berpikir Dinda, tidak banyak pertimbangan.

Gas aja, Ray, aku menyemangati diri sendiri.

***

Motor berhenti di depan sebuah rumah makan, Saung Lisa terpampang jelas di depannya. Ada beberapa mobil pribadi dan motor yang terparkir di sana.

“Pasti Dinda tidak tahu lokasi rumah Pak Akbar,” batinku.

Ana lupa daerah sini. Sudah banyak sekali yang berubah, Ray,” ujarnya sambil melepas helmnya. “Sebentar ana tanya dulu.”

Dinda turun dari motor dan mendekati seorang Tukang Parkir yang sedang asyik bercengkerama dengan temannya di bawah pohon mangga yang rindang. Aku memperhatikan dari jauh pembicaraan mereka, Tukang Parkir itu menunjuk sebuah gang di seberang Saung Lisa. Apakah di sana rumah Pak Akbar?

“Ternyata benar feeling ana, Ray.”

“Maksudnya?”

Feeling ana rumah Pak Akbar masuk ke gang itu, sayang ana tadi sempat ragu,” ujarnya sambil menunjuk gang yang tadi kupikir di sanalah rumah Pak Akbar.

“Mengapa sih kita enggak chat Pak Akbar aja, minta shareloc.” Aku pernah bicara seperti itu ke Dinda tadi sebelum berangkat.

“Kalau seperti itu enggak akan suprise, Ray. Enggak ada tantangannya juga. Mungkin Pak Akbar malah menghindari anti, siapa tahu begitu. Dia ‘kan sebentar lagi akan menikah, jadi mungkin saja dia berpikir enggak ada gunanya untuk bertemu anti lagi, Ray.”

Sebuah penjelasan yang masuk akal yang disampaikan Dinda. Mungkin juga karena surprise ini, akhirnya beliau memutuskan meninggalkan Sarjana Komedi itu. Apa sih ini yang ada di otakku? Ada-ada saja.

Woy, halu aja. Ayo naik.” Dinda mengejutkan dengan mencubit di tangan kanan. Haduh, mengapa tiba-tiba otak berkelana ke mana-mana sih?

Gang Santuy, terpampang jelas nama gang itu saat masuk ke sana. Unik nama gangnya, santuy. Bukankah itu artinya santai dalam bahasa Indonesia? Berarti warga gang ini hobi santai kali ya? Motor melaju perlahan, menyusuri jalan beton yang sudah mulai tidak rata lagi karena terkikis hujan.

“Kata si Abang Parkir tadi, rumah Pak Akbar hanya mengikuti jalan ini aja. Nanti mentok gerbang rumahnya ada di sebelah kanan,” ujar Raya.

Suara Dinda lumayan terdengar jelas karena helmnya sudah dibuka. Tadi saat menggunakan pengaman kepala itu suaranya tidak terdengar jelas.

Motor melaju melewati pohon-pohon jati yang sudah lumayan tinggi di sebelah kiri, terasa sejuk saat melintas di sana walau hanya sebentar.

Tak jauh setelah melewati pohon-pohon itu, terdengar suara musik keras sekali, ternyata ada ibu-ibu sedang senam aerobic di sebelah kanan jalan. Sebuah pemandangan kontras terlihat setelahnya, ada anak-anak yang sedang mengaji di sana. Rumah Tahfidz terpampang di bagian depan rumah itu. Apakah tidak terganggu itu mereka yang sedang belajar dengan aktifitas emak-emak yang loncat dan goyang-goyang?

Enggak mikir apa itu ya emak-emak? Otaknya enggak dipake mikir, apa memang enggak ada otaknya?

Aih, otakku terlalu barbar menyikapi hal ini. Sudahlah, tidak usah memikirkan hal itu yang penting sekarang adalah sampai ke rumah Pak Akbar. Mungkin saja ‘kan toleransi antara emak-emak aerobic dan tetangganya sudah level tinggi. Entahlah.

Setelah melewati Rumah Tahfidz itu ada perumahan di sebelah kanan, tidak terlalu besar, pintu masuknya juga tidak mengesankan sebuah perumahan. Motor masih melaju perlahan, sebuah plang tanah dijual ada di sebelah kiri, hubungi Bapak Sugeng katanya. Di sebelah tanah itu ada rumah dijual, tidak jelas kondisi rumah yang dijual itu karena terhalang gerbang besi berwarna kuning pucat.

Motor melaju terus hingga akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang berwana hijau tua. Mungkin ini adalah ujung dari Gang Santuy.

“Ini pasti gerbang yang dimaksud oleh si Abang Parkir itu,” ujar Dinda, dia berhenti tepat di depan gerbang, lalu menstandarkan motornya. “ Ayo turun, Ray.”

“Kamu yakin di sini tempatnya, Din?”

“Bukan di sini, Ray. Tapi di situ.” Dinda menunjuk sebuah rumah sederhana bercat warna biru langit. Posisinya hanya sekitar lima meter dari jalan.

Hmm, maksud aku begitu, Dindut.” Aku tersungut. Bicara dengan makhluk ini memang harus jelas kata yang digunakannya, selalu ada saja yang dipersoalkannya.

Lihat selengkapnya