Sebuah rumah dengan arsitek bangunan zaman Belanda berdiri kokoh beberapa meter dari jalan raya. Cat putih di bagian atas tembok, serta batu-batu belah warna hitam di bagian bawah menjadi ciri khas. Pohon beringin besar berdiri dengan angkuh tak jauh dari sana, sesaat mencuri pandangan saat daunnya berguguran menyapa bumi karena tertiup angin.
“Sepertinya memang ini rumahnya, Ray.” Dinda menunjukkan google maps di ponselnya, aku mengangguk setuju dengan ucapannya.
“Yuk,” ajakku saat badan masih menempel di jok motor.
“Ciyeee, semangat banget yang mau bertemu istri tua.”
Hmm, suka sekali si Dindut ngeledekin aku. Dia pasti tidak tahu aku sedang menahan gemuruh dalam dada. Menahan supaya tidak menjambak dan mencakar-cakar Sarjana Komedi yang sebentar lagi akan kutemui.
“Apa sih, Dinda?” Aku tersungut, dia tertawa meledek.
Menyebalkan sekali ini makhluk jika sudah mulai meledek.
“Ayo,” ujarnya setelah meletakan helm di jok motor bagian depan.
Aku berusaha menjajari langkah kaki Dinda yang sudah duluan, mengapa sekarang dia yang bersemangat? Aku mempercepat langkah karena sepertinya mendengar sesuatu dari pohon beringin yang sedang melambai-lambai itu. Jangan-jangan ada Asih di sana, apa ini perasaan aku saja karena terlalu banyak membaca novel Risa Saraswati?
Kaki Dinda terhenti tepat di depan teras, dia memberi kode supaya aku yang mengucapkan salam, tapi aku menggeleng.
Baru saja dia hendak mengucapkan salam, tiba-tiba pintu terbuka lebar. Seorang perempuan cantik bergamis hitam dan jilbab senada berdiri di ambang pintu, dia tersenyum. Siapa dia? Wajahnya seperti peranakan arab dengan hidung mancung dan bola mata hitam pekat.
“Masya Allah, akhirnya sampai juga, Ukhti,” ujar perempuan itu sambil melangkah mendekat.
Dinda menatap penuh tanya ke arah perempuan berhidung mancung di depannya, lalu wajah penuh tanya itu beranjak ke arahku. Sepertinya apa yang ada di benaknya sama dengan yang ada di benakku, 'apakah ini Anna Fitria si Sarjana Komedi itu?’
“Ini Kak Anna?” ujar Dinda masih dengan mulut terganga. Sebentar lagi mungkin akan ada kerbau yang masuk ke sana.
“Na'am. Astaghfirullah, afwan ana lupa. Anti belum pernah melihat wajah ana ya? Jadi belum kenal.”
“Masya Allah, Kak Anna cantik banget,” ujar Dinda.
Kak Anna melangkah menghampiriku dan Dinda sambil menyematkan senyum, Dinda mengulurkan tangan untuk berjabat tangan yang lalu diterima oleh Anna, mereka lalu berpelukan. What! Ngapain si Dindut melakukan itu? Jangan-jangan aku mesti menirunya juga ini. Shit, berpelukan dengan istri tua. Eh, berpelukan dengan pesaing utama a.k.a musuh. Enggak banget.
Perempuan berwajah timur tengah itu menatap dan tersenyum ke arahku sekarang, tidak! Pasti dia akan menyalami dan memelukku juga. Apa yang harus kulakukan? Menolaknya? Pasti akan terlihat tidak sopan sama sekali.
“Ini pasti Raya ya?” ujarnya.
Lho tahu dari mana dia namaku? apakah baca di name tag? Padahal ‘kan sedang tidak menggunakannya. Jangan-jangan ada tulisan namaku di jidat.
Apa sih, Raya? Enggak jelas banget.
Aku terpaksa mengangguk mengiyakan pertanyaan Kak Anna karena tidak mungkin juga mengaku Chelsea Islan atau Raline Shah, pasti tidak akan percaya juga dia.
Kak Anna melangkah mendekat. Shit, dia mendekapku. Dinda tertawa melihat pemandangan itu, dia mangangkat kedua ibu jarinya sambil tertawa memamerkan giginya. Sepertinya mulutnya mengucapkan ‘istri muda dan istri tua berdamai’ tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya.
“Ahlan wasahlan, Raya. Yuk kita ke dalam,” ajak Kak Anna setelah melepas pelukannya. Perempuan berhidung bangir itu menarik tangan kananku.
Senyum Dinda semakin lebar saat melihat aku tak kuasa menolak tarikan tangan perempuan yang sejak tadi aku ingin jambak dan cakar-cakar. Eh, bagaimana menjambaknya jika dia menggunakan jilbab seperti itu? Rasanya tidak mungkin aku menorehkan luka di imannya dengan memperlihatkan rambutnya yang merupakan aurat bagi perempuan.
Bangku berukir menyambut kami di ruang tamu, sebuah foto keluarga terpampang tepat di atas bangku berukir yang panjang. Di sana nampak foto tiga orang perempuan memakai gamis hitam dengan jilbab sewarna yang menjulur panjang, sepertinya itu foto lama karena dua orang di sana masih berusia belasan tahun, sepertinya itu adalah Kak Anna dan adiknya. Laki-laki yang bersama mereka tersenyum bahagia sekali dengan peci berwarna putih bertengger di kepalanya. Seperti ada bekas luka dari bagian pelipis sampai pipi kanannya, entahlah tidak begitu jelas dari posisi di mana aku berdiri sekarang.
Kak Anna mempersilahkan duduk dengan menyematkan sebuah senyum di kalimatnya. Astaga, aku harus mengakui rasa iri tiba-tiba begitu besar kepadanya saat melihat dia tersenyum. Senyum itu begitu terlihat ... manis, ditambah lagi sebuah lesung pipit melengkapi matanya yang terlihat ikut tersenyum.
Tiba-tiba rasanya ingin merelakan takdir yang akhirnya tidak bisa bersama dengan Kak Babay, Pak Akbar maksudnya. Lancang sekali aku menyebutnya dengan istilah itu jika ada yang mendengar. Tapi itu ‘kan panggilan sayang aku untuknya. Mungkin boleh, lagi pula di sini hanya aku saja yang tahu.
Aku tidak boleh menyerah dengan Sarjana Komedi itu. Kak Babay harus jadi Abi dari anak-anak yang akan lahir dari rahimku, harus, kudu, mesti, wajib, ora boleh ora.
Setelah mempersilahkan duduk, Kak Anna meminta izin untuk ke dalam sebentar. Dia meninggalkanku dan Dinda di ruang tamu.
“Senang akhirnya istri muda dan istri tua berdamai,” ujar Dinda hampir berbisik.