Azan Magrib sudah berlalu lebih dari lima belas lalu, karyawan laki-laki Cafe Benazir satu persatu mulai kembali lagi dari masjid Al Mujahidin yang letaknya hanya terselang dua rumah di samping kiri cafe.
Setelah ikut salat Magrib berjamaah di masjid tersebut, aku dan Dinda kembali ke meja di mana biasa tempat berkumpul anak Rohis, sebuah space di pojok cafe. Tempat ini sengaja dipilih karena nyaman tidak terlalu banyak yang lalu lalang. Dengan alasan digunakan untuk kepentingan organisasi, space ini tidak diperkenankan untuk ditempati pengunjung. Semacam jadi private zone karena tempatnya pun sudah di-customize sesuai kebutuhan. Meja sudah diganti dengan meja berkaki pendek supaya bisa duduk lesehan, warna cat tembok sudah diganti dengan warna hijau muda, berbeda dengan cat tembok cafe yang dominan warna hijau tua.
Dinda meluruskan kakinya di lantai yang beralaskan permadani hijau, kaus kaki putihnya terlihat menyembul di seberang meja. Aku menyandarkan tubuh ke tembok .
Seorang karyawati dengan seragam hijau tua bertuliskan nama cafe di dadanya datang mendekati kami, sepertinya dari gerak-gerik yang terlihat dia memang sejak tadi menunggu kedatanganku.
“Assalamualaikum.” Dia beringsut mendekat lalu duduk tak jauh dengan menekuk kedua betisnya ke belakang.
“Walaikumsalam warohmatulloh wabarokatuh,” jawabku dan Dinda hampir bersamaan.
Sebuah senyum menutupi kegugupan perempuan yang usianya mungkin terpaut lima tahun di atasku. Di nametag-nya bertuliskan nama Yulia, baru jelas teks itu saat dia duduk mendekat. Jujur aku belum hafal nama mereka satu persatu, karena belum genap satu bulan Bunda memintaku bertanggung jawab di cafe ini.
“Maaf, Kak, boleh saya mengganggu sebentar,” ujar perempuan berambut lurus sebahu itu. Aku mengangguk ke arahnya.
“Silahkan, ada yang bisa saya bantu?” Aku menjawab santai, sambil menebak-nebak apa yang akan disampaikannya.
“Sebelumnya saya minta maaf, Kak Raya. Saya menerima pesan dari rumah, katanya Mama sakitnya kambuh, sekarang dibawa ke rumah sakit. Bolehkah saya minta izin pulang lebih dulu?”
Kalimat yang disampaikannya hati-hati sekali, ada sebuah kesan penuh pengharapan dari kalimat yang dilontarkannya. Dia menunduk menunggu jawaban.
“Sakit apa Mamanya, Kak?” ujar Dinda, aku menoleh ke arahnya.
“Sakit jantung,” ujar Yulia pendek, suaranya terdengar parau. Saat dia mengangkat wajahnya tadi saat menjawab pertanyaan Dinda, matanya nampak berkaca-kaca.
Dinda mencolek pinggangku dengan telunjuknya, hingga aku terperanjat kaget. Sepertinya dia memintaku merespon permintaan itu segera.
Hal itu tidak perlu diberitahukan Dinda, sebagai manager cafe yang baik hati, gemar membaca dan menabung pasti aku izinkan, tenang saja.
“Kak Yulia, begini ya ... saya mengizinkan Kakak pulang. Sekalian saya berikan izin untuk tidak masuk selama dua hari mulai besok, supaya bisa menemani Mama Kakak,” ujarku mantap, Dinda tersenyum mendengar keputusan itu.
“Ya Allah, terima kasih, Kak Raya.” Yulia menggosok air matanya yang mulai beranjak ke pipi dengan punggung tangan kanannya, “terima kasih sekali lagi, saya mohon pamit.”
Perempuan berhidung minimalis itu bersiap beranjak dari tempatnya duduk setelah pamit.
“Kak Yulia, minta tolong panggilkan Bang Rambo ya.” Yulia mengangguk pelan dan berlalu.
Dinda mengangkat kedua jempolnya ke atas seraya tersenyum, “te-o-pe deh sahabat ana.” Pujinya, “Allah akan membalas kebaikan kita walaupun sebiji dzarrah.”
Aku mengerutkan dahi, sepertinya apa yang disampaikannya barusan pernah dikatakan oleh Bunda.
“Biji dzarrah? Apa itu Dinda?” tanyaku.
“Biji dzarrah itu adalah ....”
“Assalamualaikum, Kak Raya.”
Ucapan salam itu menghentikan kalimat Dinda, Aku dan Dinda menjawab salam itu seraya menoleh, ada seorang laki-laki kemayu berdiri tak jauh, lalu dia tersenyum sopan.
“Kak Raya memanggil saya?” ujar laki-laki itu.
“Iya Bang Rambo, ke sini sebentar.” Dia mendekat, lalu duduk di sisi meja berhadapan dengan aku dan Dinda, “begini bang, tadi Yulia minta izin pulang duluan karena Mamanya sakit, saya juga memberikan dia izin cuti untuk tidak masuk dua hari mulai besok. Selama dua hari itu Abang siasati ya di cafe, jangan sampai ada pekerjaan yang terbengkalai.”
“Baik, Kak,” jawab Bang Rambo mantap, walaupun dengan gemulai.
“Terus, tadi ada titipan pesan dari Bunda, beliau lupa memberitahukan Abang katanya. Untuk yang jaga parkir tolong diberikan kopi hangat setiap bakda Magrib, jangan lupa juga makanan kecilnya.”
“Maaf, Kak. Yang jaga parkir itu ‘kan bukan karyawan kita, mereka freelance aja, kita tidak meminta mereka untuk jaga parkir juga 'kan. Mereka pun dapat uang dari sana.”
“Justru karena mereka bukan karyawan kita, makanya diberikan kopi dan makanan. Kalian ‘kan auto dapat itu karena karyawan, mereka hanya mengandalkan penghasilan mereka jaga, itu jika sedang ramai, kalau sepi gimana?”