Waktu menunjukkan hampir jam delapan malam lewat tiga puluh menit. Pengunjung cafe mulai agak berkurang, mungkin dikarenakan malam ini adalah malam Jumat jadi agak sepi. Biasanya saat malam Minggu, jelang tutup pun masih banyak yang asyik bercengkerama di sini.
“Kamu sudah izin ‘kan dengan Bunda pulang agak telat, Din?” Aku memastikan Dinda aman, karena masih menemani aku jam segini di cafe.
“Insyaallah, Bunda sudah mengizinkan, malah kata Bunda ana disuruh belajar management cafe ke anti, Ray.”
Aku tertawa mendengar penuturan Dinda, belajar management cafe ke aku katanya, belajar ngabisin stok jus cafe baru benar.
“Salah jika belajarnya ke aku, Din. Dengan Bundaku kalau mau belajar begituan, apalah aku ini cuma anak bawang yang paling kuntet.”
“Anak bawang yang paling kuntet, lucu amat." Dinda terkekeh.
“Aku enggak bisa apa-apa, Dinda. Bunda aku tuh yang hebat, bisa bangkit dari keterpurukan dengan cepat. Membuat kelemahannya menjadi sebuah kekuatan.”
Tiba-tiba ada air mata yang mulai deras di pipi kanan dan kiri, ada apakah ini?
“Ya Allah, ada apa, Raya?” Dinda terkejut melihat deraian air yang sepertinya tidak tertahankan lajunya itu.
“Aku tiba-tiba ingat ayah yang sedang jauh di sana, Dinda. Apa kabar dia di sana ya? Semenjak kasus itu mencuat, aku belum menjenguknya sama sekali di penjara, aku masih benci kepadanya.” Aku menunduk, seraya berusaha menahan laju air hangat dari mata.
“Insyaallah akan ada hikmah di balik ini semua, Raya. Insyaallah,” bisik Dinda sambil memelukku.
Aku menghela napas panjang, mengapa sejak Ayah ditangkap KPK aku tiba-tiba benci terhadapnya? Mungkin saja beliau melakukannya untuk Bunda, untukku dan Roman, memberikan semua fasilitas yang aku nikmati dan pamerkan kepada semua teman-teman. Mungkin juga Ayah tidak melakukannya, bisa saja dia seorang korban, karena ada yang tidak suka dengan pekerjaannya akhirnya di-setting supaya dia seolah bersalah. Ya, Allah. I Miss you, Ayah ....
Sebuah panggilan masuk ke ponsel, membuyarkan kesedihan. Sebuah nama terpampang di sana, ‘Kak El’. Ada apa dia malam-malam menelepon? Tidak seperti biasanya. Dinda juga sepertinya heran mengapa mantan ketua Rohis itu menelpon.
“Assalamualaikum, Kak,” ujarku membuka percakapan.
“Waalaikumsalam warohmatulloh wabarokatuh,” jawab suara di ujung sana berwibawa sekali terdengarnya, “afwan, ana ganggu enggak, Ukhti?”
“Iya Kak, mengganggu. Eh, maaf, maksud aku enggak ganggu kok.”
Apa sih Raya, baru pembukaan sudah grogi gitu?
“Afwan, jika ana mengganggu, ana tutup aja yah?”
“Enggak, Kak, enggak mengganggu kok. Ada yang bisa aku bantu?”
“Ana mau memberitahukan aja terkait kegiatan Rohis, dikarenakan sekolah diperpanjang belajar di rumahnya, sepertinya acara kita akan dimundurkan sampai waktu yang akan kemudian kita tentukan kembali.”
“Oh gitu, Kak, sudah pasti kapan pelaksanaannya lagi nanti, Kak?”
“Belum tahu, melihat perkembangan pandemi Corona dulu, jika sudah masuk sekolah kita rapatkan kembali.”
“Baik, Kak, noted.”
“Sudah yah, ana hanya mau memberitahukan itu saja, afwan ana menganggu malam-malam. Assalamualaikum warohmatulloh wabarokatuh.”
“Waalaikumsalam warohmatulloh wabarokatuh.”
Sepertinya belum selesai aku menjawab salam itu, Kak El sudah mematikan panggilan tersebut. Hmm, padahal aku senang dia telepon. Ah, Raya, jangan membuka hati untuk orang baru, tetaplah hanya Kak Babay saja.
Jujur ada rasa senang saat Kak El menelepon, entah mengapa?
“Kak El?” ujar Dinda setelah ponsel kembali mejadi penghuni meja. Aku mengangguk menjawabnya, “Ada apa?”
“Dia memberitahu bahwa acara Rohis dimundurkan, karena sekolah juga ditambah waktu belajar di rumahnya.” Aku menjelaskan.
“Kapan jadinya, Ray?”
“Katanya nanti setelah masuk kembali baru dirapatkan.”
“Oh gitu, Tapi aneh menurut ana, jika dia menelepon anti hanya untuk memberitahukan hal itu, 'kan dia bisa share di grup chat, anti juga bisa baca di sana 'kan" ujar Dinda. Sempat terlintas juga hal seperti itu sebenarnya di benak, tapi aku tidak berani menyimpulkan, "enggak asyik ya belajar di rumahnya diperpanjang, ana sih lebih enak di sekolah saja belajarnya.”
“Iya, di rumah lebih banyak rebahannya dari pada belajar, kangen suasana sekolah.”
“Kangen orang yang di sekolah kali? Kangen Pak Akbar ya?”