JATUH HATI TANPA JEDA

Kingdenie
Chapter #15

Guru Ngehits

Senin, 11 April 2020, sinar mentari masuk melalui celah tirai jendela, rasa hangatnya menusuk masuk selimut yang kugunakan. Selepas salat Subuh tadi, tak kuasa rasanya menahan mata, jadi dengan selimutlah yang akhirnya aku bersahabat. Setelah pengumuman yang di-share Bu Dewi di grup chat kelas beberapa hari lalu terkait perpanjangan belajar di rumah, rasanya jadi hilang semangat. Lama-lama aku tersedak rasa gabut karena di rumah terus.

Ponsel bergetar di atas bantal, dengan malas aku membuka pesan itu. Siapa sih yang mengganggu Inces yang sedang melukis pulau Kalimantan di bantal?

“Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh, ana di depan rumah anti ‘ni.”

Aku terbelalak saat membaca pesan itu, lebih mengejutkan lagi saat mengetahui yang mengirimnya adalah Kak El. Mau apa dia ada di depan rumahku sekarang?

Tergopoh aku ke luar kamar, melihatnya melalui celah tirai ruang tamu yang masih tertutup. Terlihat Kak El di sana sedang mengobrol dengan tetangga kontrakan di tepi jalan gang.

Astagfirullah, mengapa enggak ngabarin dulu mau datang sih, Kak. Aku enggak siap jika dadakan kayak gini,” batinku.

Tidak mungkin sekali aku menemuinya dalam keadaan seperti ini, masih mengenakan baju tidur, tidak berhijab pula. Walaupun sudah mandi Subuh tadi, tetap saja khawatir ada iler yang membuat guratan eksotis di pipi. Aku harus mengabari Kak El lewat chat supaya menunggu sebentar, untuk bersiap-siap dulu.

Tidak memakan waktu yang lama untuk mengganti pakaian yang lebih layak dan gosok gigi, juga memastikan wajah tidak malu-maluin walau bangun tidur.

Aku membuka pintu untuk menyambut Kak El yang masih bercengkerama dengan tetangga. Partner mengobrolnya sekarang sudah berganti orang, sebelumnya Ibu tukang warung, sekarang dia sedang mengobrol dengan Mas tukang cilok. Entah siapa nama mereka, aku tidak hafal, tapi sepertinya nama mereka berdua memang aku tidak tahu. Biasanya aku memanggil mereka Ibu Warung dan Mas Cilok.

Assalamualaikum, Kak,” ujarku sambil berdiri di ambang pintu seraya membawa nampan berisi dua gelas teh manis dan biskuit.

Kak El tersenyum melihatku, dia pamit ke teman mengobrolnya tadi. Lalu melangkah mendekat menuju beranda.

Waalaikumsalam warohmatulloh wabarokatuh, afwan, ana ganggu ya?”

“Sedikit aja sih, Kak. Tapi enggak apa-apa, ayo silahkan.” Aku mempersilahkannya duduk di bangku yang terbuat dari bambu hitam yang dipernis mengkilat.

Afwan, Raya, ana datang berkunjung tanpa mengabari dulu,” ujar kakak kelas berkoko hitam dan celana yang senada dengan pakaian atasnya itu.

“Enggak apa-apa, Kak. Aku yang minta maaf seharusnya, Kakak jadi menunggu lama. Tadi sehabis Subuh aku tidur lagi, jadi baru bangun lagi. Maaf ya, Kak.”

Ana sih enggak apa-apa, Ray. Memang salah ana yang berkunjung enggak berkabar dulu.”

“Ada yang bisa aku bantu, Kak?”

“Enggak, ana tadi kebetulan melintas di depan gang, tiba-tiba teringat anti, Eh, maaf maksud ana teringat saat pertama kali kita berjumpa hari Senin itu, ana jadi ingin berjumpa anti. Afwan, anti jangan salah tangkap, Raya.”

Aku tersenyum melihat Kak El yang tiba-tiba terlihat grogi, mungkin dia salah menata kata di kalimatnya.

Seharusnya aku Kak yang grogi pagi-pagi sudah diapelin.

Ana mau ke sekolah hari ini, ada yang ingin ditanyakan terkait ujian online, anti mau ikut?”

Aku terdiam sejenak, ke sekolah sepertinya sebuah ide bagus dari pada gabut di rumah. Walaupun mungkin tidak bisa bertemu dengan teman-teman sekolah, setidaknya bisa merasakan atmosfer sekolah yang sudah lama tidak dihirup. Atau mungkin bisa bertemu dengan Kak Babay di sana.

“Gimana? Mau ikut enggak, Ray?”

Aku tergagap saat Kak El tiba-tiba menarik paksa aku yang baru berkelana ke negeri halu.

“Ma ... maaf, Kak,” aku membenarkan posisi duduk, “aku mau ikut tapi sedang enggak ada motor, Bundanya belum pulang.”

“Bagaimana jika kamu bonceng motor ana? Atau anti yang bawa motor dan ana yang bonceng.”

“Aku bonceng aja kali ya, Kak. Enggak elok rasanya jika aku yang bawa motornya. Tapi ngerepotin enggak 'ni, Kak?”

Ana sih enggak repot. Jika ana enggak mau repot ngapain juga mampir ke sini. Skuy* berangkat, anti mau dandan atau make up dulu enggak, Ray?”

“Enggak, Kak. Kayaknya aku begini aja kali ya, sopan enggak sih kayak begini, Kak?” Kakak kelas bermata cokelat ini, dia menatap sebentar.

“Menurut ana, anti sudah cukup cantik seperti itu.”

“Makasih loh, Kak. Aku sudah dibilang cantik.”

“Tadinya ana mau bilang anti ganteng, tapi enggak jadi.”

“Ah Kakak, masa ganteng sih, Kak?”

“Iya, sudah cukup cantik. Skuy*, berangkat sekarang?”

“Sebentar, aku mau mau mengambil tas dulu ya, Kak.” Kalimatku dijawab dengan sebuah anggukan.

Aku bergegas menuju kamar untuk mengambil tas ransel idola, sebuah ransel berbahan kain dengan warna pink.

Sebuah cermin besar dekat pintu kamar mencuri pandangan saat hendak beranjak keluar. Aku mematut sesaat, memperhatikan gamis dan jilbab yang kukenakan, warnanya senada dengan tas ransel.

Ada sedikit rasa heran, mengapa di hatiku tiba-tiba senang saat kak El mengajakku ke sekolah? Ditambah lagi aku akan berboncengan dengannya. Jangan-jangan aku sudah membuka pintu hati untuk orang lain, mungkin saja supaya aku lebih siap saat ditinggalkan Kak Babay. Tidak, aku hanya ingin jadi umi dari anak-anakku yang abi-nya bernama Akbar Muharram.

*****

Sekolah sepi sekali, tidak seperti belum adanya pandemi Corona di Indonesia, yang selalu penuh dengan hiruk pikuk siswa. Kak El memarkirkan kendaraannya dekat pos keamananan di bawah pohon rambutan. Pak Tukimin terlihat keluar dari pos itu, sebuah senyum ramah menghiasi wajahnya saat melihatku dan Kak El.

Lihat selengkapnya