Kami berpamitan ke Miss Irna, benakku terisi dengan pesan yang beliau sampaikan tadi ‘kamu harus tetap ngehits, tapi jangan ngehits di mata manusia yang fana, ngehits-lah di mata Sang Maha Pencipta’. Akan kugaris-bawahi dan tebalkan terus nasehatnya. Thank you, my favorit teacher.
Waktu menunjukan jam 10.15 WIB, waktu salat Zuhur masih lumayan lama, masih dua jam-an. Kak El tadi sempat bilang bahwa kita pulang nanti setelah salat berjamaah di masjid sekolah, Katanya dia rindu mencium aroma sajadah di sana.
Kak El mengajak untuk mengerjakan salat Dhuha dulu, aku mengiyakan ajakannya. Dia berwudhu duluan karena mudah melepaskan alas kakinya, karena hanya menggunakan sandal saja. Sedangkan aku harus melepaskan sepatu yang bertali ini.
Mataku menangkap sosok yang selalu ingin kutemui dalam beberapa hari ini, Kak Babay. Dia melintas di selasar antara kelas dan ruang BK yag ada di sebelah kanan masjid. Laki-laki itu masuk ke sana. Mengapa hatiku tiba-tiba deg-degan luar biasa begini? Jantung seperti berdetak lebih cepat. Astagfirullah, apa yang terjadi dengan diriku ini?
Aku harus menemuinya hari ini, sekarang.
Setelah salat Dhuha empat rakaat aku segera bergegas, meninggalkan Kak El yang sedang tilawah setelah menyelesaikan salat sunnah delapan rakaatnya. Dengan cepat kupakai sepatuku dan menuju ruang BK.
Pintu ruang itu tertutup rapat, apakah Abi dari anak-anakku masih di dalam? Entahlah, aku berharap dia masih ada di sana.
Aku memberanikan mengetuk pintu beberapa kali seraya mengucapkan salam, lalu menunggu beberapa detik, setelah tidak ada respons dari dalam kuketuk lagi. Belum genap kuselesaikan ketukan, pintu sudah terbuka. Seorang laki-laki berperawakan tinggi berdiri di ambang pintu yang terbuka setengah.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh,” ujar sosok itu.
Dia memandangku tajam, ada sorot tak percaya dengan yang ada di pandangan matanya. Mungkin dia tidak menduga aku mengetuk ruang kerjanya di saat siswa lain diminta belajar dirumah.
“Aku enggak dipersilahkan masuk, Kak?” Sebuah senyum melengkapi kalimatku.
“Maaf, Raya. Ayo silahkan masuk,” ujarnya seperti tergagap.
Dia mempersilahkan duduk lalu menyediakan air mineral gelas di meja. Pintu dibukanya lebar-lebar, aku tahu alasan dia melakukan itu adalah untuk menghindari fitnah. Tidak baik seorang laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan tertutup, berduanya seorang laki-laki dan perempuan yang ketiga adalah setan, ujarnya kala itu.
“Aku enggak menyangka sama sekali kamu ada di sekolah, Raya.” Sebuah senyuman melengkapi kalimatnya tadi.
Setelah melepaskan tas ransel, aku menyandarkan badan di sofa. Sudah lama sekali rasanya tidak merasakan kenyamanan sofa ini.
“Kebetulan tadi Kak El mampir ke rumah, lalu mengajak ke sekolah. Kebetulan aku memang sedang gabut di rumah, jadi ikut dia deh.” Aku menjelaskan alasanku ada di sekolah di saat pembatasan sosial ini.
“Kak El? Siapa dia? Siswa sini?”
“Kak El itu ketua Rohis tahun kemarin, Kak.”
Kak Babay nampak berpikir, nampaknya dia mengingat-ingat nama yang kusebutkan tadi.