JATUH HATI TANPA JEDA

Kingdenie
Chapter #17

Rasa Yang Lancang Telah Tumbuh Dan Meliar

Motor berjalan dengan santai, membelah jalan lengang jalan raya. Saat pembatasan sosial berskala besar atau disingkat PSBB, jumlah kendaraan yang ada di jalan raya berkurang drastis. Apalagi pengendara bermotor hanya satu dua saja yang berani keluyuran. Warung-warung yang ada di pinggir jalan tutup. Warteg, warung padang, cafe, restoran, dilarang membuka tempat usaha kecuali hanya untuk pesanan yang dibawa pulang, bukan untuk makan di tempat.

Motor berbelok ke sebuah jalan di sebelah kiri, gang H. Betong terbaca di papan saat mau masuk tadi. Aku berasumsi bahwa Kak El mau mengajakku ke sebuah tempat, di mana bisa sedikit menghilangkan dahaga atau mungkin menghapus lapar. Tadi saat masih di sekolah dia sempat bertanya aku ada kegiatan atau tidak setelah dari sekolah, aku menjawabnya tidak. Kegiatanku semasa lockdown ini sangat unfaedah, rebahan.

Motor berhenti di bawah pohon cherry yang lumayan besar, nampak tukang sup buah mangkal tak jauh dari tempat kami berhenti, sepi, tidak ada pembeli di sana.

Sebuah senyuman dari penjualnya menyambut, sepertinya Kakak kelasku ini sering bertandang ke sini sehingga penjualnya hafal dengannya.

“Assalamualaikum, Mang,” ujar Kak El saat mengampiri gerobak penjual itu.

Waalaikumsalam, ayo silahkan, Nak.”

Alhamdulillah Mamang buka, tadinya saya pikir enggak jualan karena sedang PSBB.”

“Sempat tutup sih waktu pertama kali diberlakukan PSBB, karena Mamang agak takut juga kena virus itu. Tapi, perut ‘kan enggak peduli dengan apa peraturan pemerintah, tetap menuntut untuk diisi. Sekarang pemasukan cuma dari jualan ini aja, istri sudah enggak jualan lauk matang, sepi katanya.”

“Sabar ya, Mang. Insyaallah akan ada hikmah di balik semua.”

Aamiin. Aih, Mamang malah curhat ini ya, ngomong-ngomong mau sup buah?”

“Iya, Mang, enggak apa-apa. Minta sup buahnya dua ya, Mang.”

“Mau di sini atau mau dibawa pulang?”

“Di sini aja, Mang, haus banget ini.”

Kak El mengajak duduk di meja yang ada di bawah pohon rambutan, sekitar empat meter dari gerobak sup buah si Mamang. Meja hanya memiliki dua buah bangku yang berhadapan terpisahkan oleh meja, tas ransel kuletakkan di atas meja.

Dua mangkuk sup buah datang meramaikan meja, laki-laki yang kemungkinan sudah lebih dari kepala enam itu mempersilahkan sebelum dia berlalu pergi.

“Ayo, Raya, kita gas,” ujar Kak El seraya mendekatkan mangkuk miliknya, sebuah senyuman kusematkan mengiringi tangan yang juga mendekatkan wadah sup buah itu. Terdengar suara Kak El mengucapkan basmalah setengah berbisik sebelum sendoknya menyentuh bibir.

Entah mimpi apa semalam, hari ini naik motor berboncengan dengan Kak El, makan sup buah di sini. Ada rasa senang yang diam-diam kusembunyikan. Andai saja di hatiku belum ada yang menghuni, aku akan senang sekali jika mempunyai status di hidupnya.

“Apa sih Raya? Ngehalu aja.” batinku bergumul antara menghadirkan sosok baru atau memilih bertahan dengan luka lebam yang akan kuterima beberapa hari ke depan.

“Ayo dong, Raya. Dinikmati karunia Allah ini, jangan dibengongin aja.” Kalimat Kak El menarikku kembali dari alam halusinasi.

“I ... iya, Kak.” Aku tergagap.

Lihat selengkapnya